Masyarakat Cilongok boleh bangga karena tidak
hanya dikenal sebagai pusat penghasil gula kelapa di Banyumas. Ternyata di bidang
pelestarian seni batik tulis pun tak bisa dianggap sepele. Karena ada salah
seorang warganya yang begitu loyal dan penuh pengabdian dalam upaya pelestarian
seni batik tulis.
Melalui ketelatenan dan daya
kreasi yang melekat dalam diri Hj Karinah (86) sehingga Cilongok memiliki aset
langka dalam urusan pelestarian seni batik khususnya di wilayah Banyumas bagian
Barat ini. Melalui kekayaan daya ciptanya, Hj Karinah merupakan sosok yang
memiliki pengabdian tanpa pamrih dalam bereasi di bidang seni batik tulis.
Meski paling banter sebulan Hj
Karinah baru dapat menyelesaikan sepotong kain batik, namun karyanya memiliki
keunggulan dari bermacam sisi. Karena membatik sudah menjadi bagian dari
perjalanan hidup yang penuh dengan pengalaman. Baik pengalaman dari perhelatan
antar zaman maupun pengetahuan yang diperolehnya melalui pendidikan formal
sejak jaman penjajahan Belanda.
“Saya mulai membatik sejak
masih gadis cilik,” kata Hj Karinah kepada banyumasnews.com saat ditemui di
kediamannya di Desa Bantuanten Kecamatan Cilongok, Sabtu (26/9).
Dituturkan nenek dari 28 cucu
dan 8 buyut ini, sebelum tentara Jepang datang ke Indonesia, dirinya sudah
belajar membatik. Pada tahun 1934 Karinah lulus Sekolah Rakyat (SR) tiga tahun
kemudian melanjutkan ke Sekolah Kartini di Ajibarang dan lulus tahun 1936.
Ketika di sekolah Kartini
itulah Karinah medapatkan bermacam pelajaran kerajinan tangan, seperti
menjahit, menyulam, menenun hingga membatik. Para pengajarnya dari berbagai
daerah seperti Cirebon, Jogjakarta, Cilacap sedangkan guru tenun berasal dari
Bali.
Setamat sekolah Kartini, dia
melanjutkan sekolah pertanian di Purworejo. Sebelum akhirnya dijemput oleh
orangtuanya untuk menikah, Karinah sempat mengikuti kursus kebidanan.Selama masa penjajahan Jepang,
Hj Karinah tidak membuat batik, karena ketika itu memang kondisi bangsa pada
umumnya sedang dalam kondisi melarat. Kemudian mulai membatik secara serius,
ketika Hj Karinah menetap di Desa Batuanten pada tahun 1942.
Saat itu, dirinya tergugah
setelah menyaksikan kondisi masyarakat setempat yang pengetahuannya serba
terbatas. Demikian juga dalam hal berpakaian. Perempuan pergi ke pasar dengan
tanpa busana, kecuali hanya mengenakan kemben itu hal biasa. Kemudian melalui
kegiatan semacam perkumpulan wanita Hj Karinah mencoba menularkan ilmunya di
bidang membatik kepada ibu-ibu di desa tersebut.
Namun, menurut Hj Karinah,
banyak para ibu yang mengundurkan diri untuk belajar membatik. Alasannya
terlalu telaten dan makan waktu lama. Maklum, masyarakat setempat terbiasa
dengan pekerjaannya berupa mengolah gula kelapa yang dapat diolah dalam waktu
cukup singkat, lalu bisa dijual dan dapat uang. Sedangkan membatik minimal
sebulan baru dapat selembar kain jarit.
Menurut istri dari H Nurdin
Kamal Mustafa, bermacam batik baik itu batik Solo, batik Jogya maupun batik
Banyumas, secara garis besar sama. Adapun yang membedakan dari ketiganya adalah
Sogan-nya. Misalnya Sogan Solo warnanya kuning kecoklatan, sedangkan Sogan
Jogjakarta dominan warna coklat sementara Sogan Banyumasan berwarna putih.
Adapun motif batik itu sendiri jenisnya lebih dari seratus.
Proses membatik sendiri
memerlukan ketekunan, ketelatenan, kehati-hatian, cermat, imajinatif dan
memiliki daya tahan yang tinggi. Bagaimana tidak? Sebelum dibatik, mori yang
akan diajdikan emdia batik itu sendiri harus diproses sedemikian rupa agar
ketika dilukis melemnya tidak kalis. Begitu selama membatik itu ada beberapa
tahapan. Setiap tahapan membutuhkan waktu tersendiri yang cukup lama.
Dari mori yang sudah siap
dibatik, terlebih dulu digarisi, baik garis miring atau garis lurus sesuai
dengan corak yang dikehendaki. Tahapan awal dilanjutkan dengan Diwedel, lalu
dibatik lagi kemudian Dibironi, dibatik lagi baru Disoga.
Bermacam corak batik hasil
karya Hj Karinah seperti batik Kembang Asem, batik Parang Kesuma, batik Parang
Lunglungan, batik Kawung, dan masih banyak lagi.
Selain sering mengikuti pameran
baik di Desa, Kecamatan dan tempat lain, batik tulis asli karya Hj Karinah juga
pernah dipesan oleh warga Australia. Selain pernah mendapatkan bantuan
seperangkat alat membatik seperti canting dengan bermacam fungsi juga bahan
baku seperti malam dan kain mori dari Disperindagkop Kabupaten Banyumas.
Sedangkan upaya pelestarian
seni batik bagi para generasi penerus yang telah dilakukan seperti melalui
kegiatan kursus mebatik bagi Ibu PKK Kecamatan Cilongok, PKK Desa Batuanten,
maupun melalui kegiatan ekstrakurikuler di sejumlah sekolah formal sepertidi
SMP Muhammadiyah Cilongok di bawah asuhan Ibu Endang Yuwana, di SMP Terbuka,
serta melalui kelompok kegiatan ibu-ibu lainnya.
Dengan demikian, ketika batik Banyumas menjadi
bagian dari eksistensi keberagaman batik Indonesia, maka kinerja dan pengabdian
Hj Karinah di bidang pelestarian batik, perannya tidak bsia diabaikan begitu
saja. (Hamidin Krazan).