1/28/2009

Dua Wanita Inspirasiku

Desa Mawa Cara Bumi Mawa Ciri

PERIBAHASA Jawa itu terkandung makna, setiap tempat di suatu daerah terdapat kekhasan cara dalam menyelesaikan suatu permasalahan hidup yang dihadapinya masyarakatnya. Di tengah kehidupan masyarakat dengan berbagai tingkatan sosial yang ada, pada masa sekarang, golongan masyarakat miskinlah yang paling terpelanting dari konsep adil dan beradab.

Perhelatan kehidupan menuntut manusia harus terus bergerak, kreatif dan pantang menyerah. Tidak sedikit masyarakat miskin yang putus asa lalu mengakhiri hidupnya tidak dengan khusnul khatimah. Seperti mati bersama dengan cara bunuh diri. Di kalangan perempuan ada saudara kita yang terpaksa ataupun dipaksa terseret ke dalam lembah nista seperti terjun ke dalam bisnis seks komersil. Banyak pula orang menggampangkan kiat dalam mengatasi kesulitan dengan cara menjadi mengemis, menipu dan sejenisnya.

Sebaliknya masih banyak masyarakat (sebut para ibu) yang mencoba bertahan hidup dengan cara mulia, misalnya membuka usaha kecil-kecilan seperti berdagang. Di desa yang letaknya berada di selatan lereng gunung Selamet atau lebih kurang 20 kilometer sebelum Kota Purwokerto ini, masyarakatnya masih banyak yang menggunakan kayu bakar untuk memasak. Sebagian menggunakan kompor minyak dan gas. Program konversi minyak tanah ke gas belum merambah ke desa ini. Sebulan lalu (Januari) RT di tempat tinggalku sudah mendata warga yang bakal menerima kompor gas gratis.

Persoalannya, kini minyak tanah sulit didapatkan. Meski harga sering dikeluhkan namun disertai maklum. Tetapi ketika barang yang dibeli kehabisan stok, mau apa? Untuk mendapatkan dua liter minyak tanah, pembeli harus jauh-jauh hari menaruh derigen minyaknya di barisan antrian di warung penjual minyak tanah. Setelah jatah minyak habis, para ibu yang terlambat datang tidak bisa mengadu atau memaksa untuk memperoleh minyak yang sudah menjadi jatah orang lain. Lantas mau masak pakai apa? Kayu bakar? Ya kalau di dapurnya tersedia tungku.

Para ibu pengguna kayu bakar untuk memasak di dapur, selain kini harganya mahal, seringkali kayu bakar susah didapat. Para petani yang biasa menyisihkan waktunya untuk mencari kayu bakar di hutan jumlahnya tetap. Sementara permintaan kayu bakar dari para ibu meningkat. Anak-anak muda hampir tidak banyak yang mewakili para generasi tua penjual kayu bakar. Karena lebih memilih merantau ke kota.

Ukuran kayu bakar yang dijual, satu pikulnya terdiri dari dua ikat kayu pecahan masing-masing panjang 1,2 meter dengan diamater gulungan sekitar 40 centimeter. Harga per pikul mencapai Rp 20.000. Terkadang untuk mendapatkan satu pikul kayu bakar harus pesan dulu. Karena ketersediaan terbatas.

Bagi seroang ibu, memasak selain menjadi bagian kewajiban rutin, pada tingkat tertentu merupakan media ekspresi cinta dan kasih sayangnya terhadap keluarga. Betapa bangga hati sang ibu manakala hasil olahan sayur lodehnya dilalap sampai habis disertai sanjungan oleh suami dan anak-anak. Apalagi ketika salahs atu masakannya menajdi santapan favorit dan ketagihan. Sebaliknya hati merasa dongkol dan putus asa ketika masakannya dicela. Terlalu asin lah, kurang ini, itu dan lainnya. Apesnya, jika kemarahan itu hanya diredam secara diam-diam, namun berakibat memupuskan semangatnya.

Ketika sang ibu hendak memasak, gas kosong, minyak habis atau yang biasa menggunakan tungku tidak tersedia kayu bakar sebatangpun. Itulah saat yang genting, betapa seorang ibu dibuat kelimpungan dan panik bukan main. Seringkali tak tercermati oleh suami atau anak-anaknya. Namun kepanikan itu dapat diatasi dengan berbagai cara.

Belakangan, untuk mengatasi kekurangan bahan bakar seperti kayu bakar, ada ibu tua yang rajin mengumpulkan potongan kayu sisa di pabrik penggergajian kayu gelondongan di desaku. Potongan kayu itu dikumpulkan, diikat lalu digendong untuk dibawa pulang. Setelah dijemur lalu digunakan sebagai kayu bakar buat memasak. Kehadiran pabrik penggergajian kayu itu telah mengubah sebagian perilaku masyarakat yang biasa hanya menunggu penjual kayu yang datangnya tidak tentu, serta mengubah cara pencarian kayu di hutan atau di kebun tetangga.

Bagi masyarakat di Banyumas Barat kekurangan bahan kayu bakar masih dapat tertolong karena masih banyak terdapat kebun dan pekarangan, kini banyak pula pabrik pengergajian kayu. Selain dekat dengan hutan, meski jarak tempuhnya sekitar 5 kilometeran. Lantas bagaimana dengan para ibu dengan persoalan serupa namun mereka berada di pesisir pantai utara seperti di Kelurahan Muarareja di Kota Tegal?

Di kelurahan ini masih banyak ibu rumah tangga yang menggunakan kayu bakar untuk keperluan masak. Baik masak untuk konsumsi keperluan keluarga maupun usaha. Seperti para ibu yang membuka usaha pengolahan ikan asap dan rebus pindang. Tentunya mereka menggunakan kayu bakar untuk mengolah ikan.

Sekalipun di Kota Tegal sudah diberlakukan konversi minyak ke gas. Banyak para ibu yang memperoleh kompor gas dan tabungnya. Tetapi para perajin ikan asap tetap bertahan menggunakan kayu bakar untuk memasak. Selain minyak tanah semakin sulit bahkan tidak tersedia sedangkan gas harganya semakin mahal serta kehabisan stok.

Harga kayu bakar di kota bahari ini ukurannya tidak seperti di Banyumas, sistem pikulan, melainkan per ikat. Setiap satu ikatan kayu bakar ukuran panjang sekitar 60 centimeter isi tiga sampai empat batang ukuran lengan orang dewasa, dijual sekitar Rp 2.000 an. Jika beli tiga ikat Rp 5.000. Lantas bagaimana pula ketika di tempat penjualan kayu bakar juga kehabisan stok? Karena kayu bakar yang dijual di kota ini didatangkan dari daerah pinggiran hutan di Kabupaten Tegal dan Brebes seperti daerah Margasari, Bumijawa dll.

Suatu siang yang terik aku mengitari jalanan aspal di sepanjang perkampungan di pantai Muarareja. Para ibu sebagian besar bekerja sebagai nelayan pengolah ikan dan berdagang. Di sepanjang pantai banyak terdapat tambak ikan bandeng. Di sepanjang pematang atau tanggul balongan itu ditumbuhi pohon bakau (mangrove). Selain untuk manahan erosi, pemecah gelombang ketika rob (air pasang) juga tempat berlindungnya ikan peliharaan di tambah.

Seorang nenek (60) pada suatu hari sedang memetik buah mangrove yang bentuknya panjang seperti kacang-kacangan dengan galah sepanjang lima meter. Di ujung galah itu diberi kait agar buah mangrove itu lepas dari tangkai ketika galah ditarik dengan sekuat tenaga. Ternyata buah mangrove itu ia jadikan bahan kayu bakar.

Caranya, setelah buah mangrove terkumpul diikat lalu dibawa pulang dan dijemur di halaman rumah selama dua hari. Setelah kering baru bisa dijadikan kayu bakar. Dalam jumlah banyak buah mangrove kering bisa dijual. Harga per kubik sekitar Rp 100 ribu. Untuk mendapatkan satu kubik buah mangrove kering membutuhkan waktu hampir sepekan. Itu jika cuaca panas, tetapi ketika musim penghujan atau air laut pasang, terkadang jemuran buah mangrove di halaman rumah yang hampir kering, malah kuyup terendam air pasang.

Dua kiat para ibu di dua daerah berbeda dengan persoalan sama itu, ternyata dapat dipetik bahan pembakar semangat dalam hidup ini.

Pertama, tak ada kesusahan tanpa ditemukan jalan kemudahan. Kedua, kiat menemukan jalan keluar dari persoalan membutuhkan sikap sabar. Ketiga, seorang ibu dalam mewujudkan kasih sayangnya tidak hanya sebatas rasa (emosional), melainkan daya kreativitas dan pengerahan tenaga pun disertakan. Keempat, persoalan hidup jangan dihindari tetapi harus dihadapi sekalipun dengan cara terberat dan dipandang nista di mata orang lain. Kelima, karunia Allah di darat dan di laut tidak akan kering. Dapatkan manusia pandai mendulangnya? Dua sosok ibu tersebut telah menjawabnya (Hamidin Krazan)

1/21/2009

Rumah Kecil Tiga Dapur

Dapurku Album Kenanganku

Jujur aja, rumah yang kutempati luasnya hanya 9 x 6 meter di tambah kolam ikan yang ada di antara kamar tidur utama dengan ruang keluarga. Kamar tidur letaknya terpisah berukuran 3,5 x 3 meter. Luas kolam ikan 1,5 x 4 meter. Di atas sebagian kolam ikan itu di buat jembatan untuk akses antara ruang keluarga ke kamar tidur utama. Di sebelah ruang keluarga ada dapur dan WC.

Dapur ini dapur yang sebenar-benarnya dapur, memang cukup sempit. Ukuran panjang 1,80 meter lebar 1,30 meter. Sempit kan? Keramik lantai berwarna coklat klasik bermotif batu cadas kekuning-kuningan, keramik dinding kuning langsat licin menyerupai warna kulit cumi rebus, di antara keramik yang dipasang berdiri sepantaran orang berdiri dihias dengan ornamen keramik motif untuk membentuk lies dengan aksen ukiran menyerupai tanaman rambat berwarna coklat gula jawa.

Karena belum bisa membeli kitchen set, akhirnya dinding dapur pada batas pemasangan keramik dengan tembok tanpa keramik ditancapi beberapa paku beton yang berbaris berjarak antara 20 Cm-an, gunanya untuk gantungan perkakas dapur. Ada tiga panci ukuran tanggung berbahan aluminium (24 Cm), tanggung stainlees, panci langseng, panci bertangkai yang biasa buat masak mie instan, ada wajan kecil dan tanggung stainlees, gayung air bersih, alat ceplok dadar, parutan dan rak gantung tempat bumbu instan, kopi, gula serta botol madu serta tempat garam kecap dll.

Di bawah festavel ada kompor gas mata satu yang masih dibungkus kardus, ada tabung gas ukuran 15 Kg, tumpukan kaleng cat ukuran 5 kg yang isinya perkakas serba tajam, paku, obeng, gunting, drey kembang dll. Di sisi satunya lagi tempat kompor gas bermata dua serta termos air panas dan magic jar. Sisi tembok satu lagi ada kompor minyak. Di kolong tempat kompor gas yang rawan lembab untuk penampungan gerabah pecah belah (abis belum punya lemari etalase khusus sih). Ada juga keranjang tempat bumbu dapur seperti bawang M, Bawang P sampai sewadah beras berkualitas rendah yang khusus untuk mengisi kaleng ‘jimpitan’ ronda setiap malam.

Di sebelah festavel ada rak duduk buat gerabah yang baru dicuci, sebelah kirinya ada rak standar untuk gerabah kering. Abis kalo langsung ditaruh di situ sehabis nyuci, bikin lantai becek! Kan gak punya pembantu…. Dapur awam alias dapur sebenar-benarnya dapur ini setiap aku amati sambil masak mie rebus ibarat album foto beribu berwajah. Mao tahu alasannya?

Magic Jar

Besek nasi elektrik ini aku beli di toko gerabah grosir sebrang pasar Blok F Tanah Abang Jakarta. Selain alat yang satu ini, juga ada seperangkat lainnya yang dibeli di toko tersebut. Setiap hari di toko ini banyak dikunjungi para pedagang gerabah keliling yang kebanyakan berasal dari Tasik. Ketika aku membeli alat ini, pelayan menyangka aku salah seorang dari tukang kredit alat rumah tangga yang biasa keliling dari gang ke gang. Ketika itu aku kos di Tanah Rendah dekat setasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sedangkan kerjaku di Kebayoran Lama, Jaksel.

Kompor Gas

Kompor gas mata dua yang biasa dipakai (kalo ada gasnya) dipinjami mertua. Sedangkan kompor gas mata satu yang masih terbungkus kardus merek ternama, hadiah dari teman kerjaku, dibelinya di Cilandak Mall. Sebelumnya aku juga pernah diberi kadi kompor gas sewaktu menikah dulu, oleh Pimpinan Perusaan tempatku bekerja. Tapi ketika menghadapi masa sulit, kompor itu aku jual melalui jasa tukang kredit. Padahal kualitasnya bagus. Sedangkan sepasang nampan capucino bermotif hijau daun muda berbahan melamin dan talenan veber itu aku beli di mall Cilandak juga. Ketika itu aku kos di daerah Kebagusan, Pasar Minggu Jakarta Selatan.

Panci bertangkai

Barang yang satu ini milik keponakanku, konon dia beli ketika bekerja di Tangerang. Tapi begitu pindah kerja dan tinggal satu kos denganku, akhirnya kemana aku pindah kontrakan barang yang tangkainya sudah pernah patah dan dibaut lagi ini masih setia bersamaku. Kini bagian alasnya pun tak hitam penuh jelaga, melainkan masih terjaga licin dan kelihatan putih warna aluminiumnya. Rajin diogosok sih. Hanya sedikit peot. Maklum dah teuk.

Termos air panas

Termaos air panas, rak piring sedang dan rak piring duduk aku beli di sebuah toko gerabah di depan Alfamart Depok Jalan Dewi Sartika. Ketika itu aku ngontrak di jalan Belimbing Depok Lama. Jika ditempuh dengan jalan kaki dari stasiun Depok Lama ke arah selatan, sekitar 1 Km.

Cobek-Ulekan Batu Candi

Cobek kecil berbentuk bintang meski aku bawa dari Kampung Makasar Cililitan Jakarta Timur, gerabah purba ini didatangkan dari Munthilan Jawa Tengah. Aku pernah mambantu temanku membuka usaha semacam galeri dan berbagai hiasan taman dari batu-batu candi seperti arca, relief dll. Cobek itu pemberian dari temanku. Ukurannya kecil tapi buat mengulek sambal cabe rawit, wuih…. Pasti pedes

Kompor Minyak

Dipakai setiap gak bisa beli gas, tapi belakangan sejak minyak tanah menghilang di pasaran, kompor ini sering menambah derita dan sakit hati yang dirasa pemiliknya kepada kebijakan-kebijakan pemerintah yang dirasakan semakin menyulitkan rakyat kecil. Masa beli minyak tanah harus bersikap saling bermusuhan dengan penjual dan sesama pembeli? Antri, belinya dijatah, harga mahal, saling sikut lagi. Biar dapat minyak tanah 5 liter saja, harus KKN. Dunia macam apa ini? Tetapi kompor minyak ini tidak bisa dienyahkan, abis beli gas duitnya kurang, masak pake tungku gak punya dapur tradisional. Kayu bakar sih banyak kan deket hutan….

Panci bermacam ukuran

Panci dan beberapa gerabah kecil lainnya dibeli di toko gerabah di Jalan Jend Sudirman Purwokerto Jateng, setiap libur kerja aku sempatkan jalan-jalan di kota kelahiran dengan oleh-oleh di antaranya panci! Sebenarnya ada juga barang yang dibeli di Matahari Citos, di Bogor dan Citraland serta di Depo Bangunan Depok dll tapi….. segitu aja lah.

Nah, dapur kedua berada di ruang keluarga. Dimana di situ ada meja dan kursi serta deretan buku. Serta komputer dan Laptop. Sayang keduanya sedang rusak. Padahal pernah diperbaiki di tempat reparasi. Komputer sama reparasi kampung sedangkan Laptop dibawa ke Ratu Plaza Jakarta ternyata hasilnya nol. Cuma banyarnya yang mahal, tapi hasilnya Nol! Padahal keduanya merupakan ‘dapur’ untuk memasak ide, gagasan, ilham, inspirasi ataulah apa macamnya sehingga salah satunya menjadi karya baik Puisi, cerpen ataupun cerpeeeeeen sekali. Di ruang keluarga ini juga sebagai dapur untuk mencairkan bungkahan kebekuan rasa di antara anggota keluarga. Lintang, Zara maupun Sukmaku.

Satu lagi dapur yang terpisah. Dikonci setiap malam, dihiasi lampu yang bisa diatur gelap terangnya melalui dimmer, dapur ini tanpa tungku tapi penuh bara cinta. Dapur tanpa kompor tetapi penuh dengan kehangatan. Dapur bukan untuk menanak nasi melainkan menenangkan riak-riak hasrat insani. Dapur dengan kasur kapuk randu berseprei mawar hijau merek La Paloma yang kubeli di Roxy Jakpus. Dapur ajang panggung kamasutra! Enak dan memuaskan.

Kalau libur panjang, agar anak-anak mengenal dapur tradisional. Dapur yang berdinding anyaman bambu, penuh jelaga bernuasna hitam. Ada tungku, ada tumpukan kayu bakar, seikat daun kelapa kering, anglo (potongan bambu) untuk meniup bara hingga menyala jadi api. Aku bawa mereka ke rumah Mbah Putri di selatan lereng Gunung Slamet. Atau aku bawa ke rumah Bude Sri, rumahnya di dekat perkebunan teh Kaligua Brebes. Di daerah yang letaknya di Barat Daya Gunung Slamet itu berada di ketinggian di atas 2000-an meter dari air laut. Setiap rumah di daerah ini pasti punya dapur tradisional, salah satunya untuk menghangatkan badan setiap pagi atau malam hari sambil memasak air. Kalau di Eropa atau Villa di Puncak kan pakai penghangat ruangan?

Sebenarnya masih banyak macam dapur dan keunikannya, tapi satu lagi aja ya. Yang paling aku sukai setiap menempuh perjalanan dari Jakarta – Purwokerto dengan kereta, dulu sering naik Purwojaya (Gambir-Kroya), itu ada tempat favorite, yakni dapur restorika. Alias kereta makan, di tempat ini selain bisa kenalan sama Polis Kereta, Masinis, petugas restorika juga kadang bisa pedekate sama pramugari kereta…. Dapur refresshing…. Asal jangan mimpi bisa masuk ke dapur KFC, Hokben, CFC, Wendys, Solaria dan Mie Gajahmada pasti DILARANG MASUK! nKZ

1/20/2009

Hape Bisa Ngebohongi


Beda Hape dengan Telpon Rumah

MELIHAT persaingan yang begitu ketat di dunia telekomunikasi, telpon kabel atau telpon rumah seolah tergilas oleh praktisnya mobile phone atau biasa disebut Hape. Tak hanya diam melihat kondisi tersebut berbagai pengembangan produk dan layanan terus dilakukan pihak penyedia jasa telekomunikasi berplat merah tersebut.
Diakui manager kantor cabang Telkom Kota Tegal, Wahyu Nugroho, terjadi penurunan jumlah rata-rata pemakaian telpon kabel, namun kalau dilihat dari jumlah pelanggan masih ada penambahan. Dari segi fleksibilitas dan jenis layananpun telpon kabel dinilai tertinggal. “Telpon kabel hanya untuk suara,” kata Wahyu, (20/1/09).
Namun tidak berarti telpon kabel benar-benar tergilas oleh perkembangan teknologi karena berbagai keunggulan Hape masih belum bisa menggantikan beberapa fungsi telpon kabel. Salah satunya fungsinya sebagai identitas. “Untuk melakukan transaksi biasanya dicantumkan rekening telepon rumah karena tidak bisa dibuat-buat,” jelas Wahyu.
“Kalau pake telpon rumah juga lebih jujurkan, misal orangnya di kantor ya di kantor, kalau Hapekan bisa bohong,” seloroh Wahyu. Kelebihan lain yang belum bisa tergantikan adalah PABX baik untuk hunting atau paralel.
Tak hanya mengandalkan fungsi yang tak tergantikan, Telkom juga mulai mengembangkan teknologinya, sehingga kedepannya Telkom bisa tetap melayani masyarakat dengan pelayan terbaiknya. Tak hanya suara, datapun kini mulai digarap Telkom dengan Speedynya. Mengganti jaringan dengan Fiber Optic (FO) sejak beberapa tahun lalu juga merupakan langkah perbaikan layanan. “Kecepatan FO jauh lebih tinggi dan kualitasnya jauh lebih baik,” paparnya.
Awalnya kecepatan downstreeming hanya 3.84 Kbps up to 1 Mbps sekarang mulai di upgrade lebih tinggi, bahkan ada kemungkinan hingga 8 Mbps. Tak mau kalah dengan 3G, Telkom juga meluncurkan video teleconference yang sudah dinikmati di kota-kota besar seperti Semarang, Jakarta, Surabaya. Melalui layanan ini, dijelaskan Wahyu, meeting antar kota sangat mungkin dilaksanakan. “Kalau di Semarang, saya bisa meeting dengan kantor Surabaya, Medan, Jakarta. Kita bisa tau apa yang dikatakan oleh lawan bicara kita sekaligus bisa melihat orang tersebut bahkan apa yang dipresentasikan,” jelasnya panjang lebar.
Pengembangan lain yang dilakukan Telkom juga menyentuh teknologi televisi berlangganan, dengan nama produknya IPTV atau internet protokol televisi. IPTV bisa dikoneksikan ke telpon rumah, speedy dan kabel TV. Bedanya dengan televisi konvensional, dengan video on demand (VOD) pelanggan bisa memesan siaran yang telah berlangsung kapanpun. “Misal kita terlewat siaran bola, kita bisa pesan setelah kita pulang kerja misalnya,” pungkasnya (NP)

Membalut ‘Kebugilan’ Sarah Azhari


PADA suatu hari aku kunjungi Blogartis di blogdetik.com. Hadir sebagai tamu artis kontraversional Sarah Azhari. Di dalam blog itu Sarah Azhari menulis sbb:
Posted by: sarahazhari 16 January 2009
saya adalah saya
“Bloggers thanks ya atas saran2 dari anda semua,fyi..Betapa banyak yang menyarankan saya untuk menutup aurat ataupun mengenakan jilbab,buat saya hidup itu pilihan,selama saya tidak merugikan orang lain..Seandainya anda semua tidak hanya memperhatikan saya,adik,dan kakak…Saya bahagia dengan apa yang saya pilih dan saya jalankan di kehidupan dan rumah tangga saya..Ada saatnya orang mempunyai batas2 privasi,Mohon maaf saja kalo saya selama ini tidak pernah mengumbar kehidupan rumah tangga saya…Namun yang pasti Anak saya dan saya pribadi lebih nyaman dengan keadaan tersebut tanpa mengumbar kehidupan rumah tangga yang hampir sama dengan kehidupan kebanyakan orang2..ok bloggers sampai di sini dulu ya…Sampai bertemu di lain pembahasan..Take care….”
Meski aku gak ngikutin pembahasan awalnya, namun sekilas dapat dicerna, apa yang dikatain Sarah terkait dengan tampilan fotonya bersama Ramha (adiknya) saat mandi bareng dengan cara wajar (ya layaknya orang mandi di kamar mandi lah..). Persoalannya, ketika mandi dengan layaknya orang mandi--- menjadi sebuah adegan dalam foto, terlebih foto itu menggelinjang bangkit bagai virus mengganas menyusuri lini maya sehingga memperkosa setiap pelupuk mata manusia untuk melotot membuat setiap orang enggan terpejam barang sekejap pun.
Rekan saya melihat tampilan fotonya, langsung nyeletuk, “Lihat jangan mengejapkan mata, sebab jika memandang ke dua kalinya sudah berubah hukumnya. Pandangan pertama itu nikmat, pandangan kedua maksiat,” ujarnya berkelakar. Aku tahu, ucapan itu menyitir sebuah hadis Rasulullah tantang adab Menundukkan Pandangan (Ghadbul Bashar).
Persoalan kedua, obyek foto bukan Mbok Raswi, perempuan berumur 60 tahun yang kerjaan sehari-harinya memetik daun jati lalu dijual ke pasar. Saat istirahat di tengah jalan setapak, dia menyempatkan mandi di pancuran bambu di tepi sawah, sekalipun naked, bugil dan bergaya kerbau mandi, tentu tidak berdampak maksiat yang terlalu memangsa jutaan mata karena orang tua yang biasa-biasa saja, bukan pemilik kulit sawo matang yang seksi dan tenar--- sehingga mata siapa yang tak terbelalak dengan fantasi dan imaji liar?
Sarah adalah sosok yang terlanjur dikenal masyarakat. Katakanlah publik figure. Tentu memiliki tanggung jawab dalam menjaga citranya. Dia besar karena budaya kagum masyarakatnya, jadi harus menghargai itu sebagai suatu kehormatan dan mahkota dirinya. Jangan anugerah itu malah disemena-menakan dengan ‘keteledoran’? dirinya. Sayang!
Melalui pesan dan saran teman-teman Blogger salah satunya, agar Sarah menutup aurat dengan cara menggenakan busana muslimah. Tapi apa jawabannya? Ya itu tadi.
Nah, setelah membaca postinga Sarah itu, aku terus nulis komentar berikut. Semoga Sarah sudah mebacanya: Selanjutnya terserah Sarah dong. Mo bugil ria terus ya silakan, mo mengurung diri ya monggo. Kalo dianya tahan menderita dari keterasingan loh. Persoalannya, menajdi orang yang disanjung, dielukan, dkagumi dan diperbincangkan bahkan dibayar mahal lagi, itu bagi artis bagian dari surga dunianya. Bahkan menjadi semacam CANDU yang membuat dirinya selalu ketagihan. Sensasi cara untuk mengobati ketagihannya itu. Neeh saranku buat Sarah:
Sarah adalah sarah, tapi jangan lupa, dari alas kaki tempat kau berpijak hingga angan yang masih jadi embrio dalam wilayah nuraniyah, menjadi bagian denyut nadi masyarakat. Karena Sarah kini bukan sarah ‘jabang bayi’ baru lahir dunia, melainkan bagiandari desah nafas dunia itu sendiri… Konsep Islam ada malaikat pemantau (Ijrail-Isrofil) dalam konsep keamanan toserba ada CCTV, semua mata manusia sudah menjadi itu bagi kehidupanmu…. itu saja saranku (orang awam) yang gampang dijajah kekaguman diri… hamidinkrazan@yahoo.com

1/04/2009

Wayang Dakwah

Wayang Minimalis Kontemporer

Lakon Lupit Ngaji

"Ngaji tentang kahanan bukan sekedar ngaji tekstual. Ngaji kahanan tidak tertulis dalam kitab manapun, seperti belajar pada lingkungan dan berbagai fenomena alam,"

WAYANG minimalis kontemporer tentang cerita Lupit Ngaji dipentaskan pada malam menyambut 1 Syura, dimainkan secara duet oleh H Tambari Gustam (seniman dan Pengusaha Tegal) dan KH Mujtahid (Mubaligh Tegal) di halaman Radio Pertiwi FM Slawi. Pentas wayang religius dengan menggunakan bahasa tegalan itu lebih mengutamakan missi dakwah melalui media wayang yang notabene nonkonvensional.
"Cerita Lupit Ngaji sebagai cerminan terhadap keadaan kondisi masyarakat yang bersifat kontekstual. Mengaji yang dimaksudpun bukan secara tekstual," kata Tambari, Jumat (2/01/09).
Dijelaskan, ngaji dalam pengertian tekstual merupakan sebuah kegiatan belajar melalui media baca dan dengar saja. Biasanya berupa mendengarkan ceramah dari sang ustad atau membaca kitab-kitab keagamaan seperti kitab tentang fiqih dengan bimbingan kiyai. Persoalan yang dipelajari seputar tata cara beribadah, pemahaman tentang hukum agama atau hal-hal yang bersifat teoritis. Sehingga seorang bisa mengetahui bagaimana tata cara beribadah secara tertib. Seperti cara bersuci, cara menutup aurat dan tata cara melakukan ibadahnya.
"Namun dalam kisah ini, Lupit sebagai wakil dari sosok masyarakat yang berusaha mencari sebuah kebenaran sejati, berusaha mengkaji situasi dan kondisi alam sekitar dan hal-hal yang bersifat kontekstual," kata Tambari.
Tentu saja, lanjutnya, dalam praktiknya, Lupit menghadapi banyak kendala dan tantangan selama menempuh lakunya. Seperti di tengah usahanya untuk menemukan sang Guru Sejati, ternyata Lupit harus berhadapan dengan beberapa tokoh jahat yang dalam pentas itu digambarkan dengan figur wayang dengan sifat-sifat fisik yang jelek, seperti wayang berwajah merah, bermata satu, atau mulutnya besar. Konotasinya berbagai sifat jelek yang ada di sekitar masyarakat.
"Dalam pentas ini saya hanya berlaku sebagai pembuka cerita melalui suluk dengan bahasa tegelan. Begitu si tokoh menemukan Sang Guru sejati, pentas dilanjutkan oleh kakak saya, KH Mujtahid," kata Tambari.
Menurutnya, melalui wayang kontemporer yang dimainkan ustad Mujtahid, membuat pentas wayang semakin gayeng dan rahat karena disertai dengan guyonan ger-geran serta diselingi satire yang mengigit. Permainan wayang diiringi dengan musik terbang Darunnajah dari Desa Pagedongan Kabupaten Tegal.
"Ngaji tentang kahanan bukan sekedar ngaji tekstual. Ngaji kahanan tidak tertulis dalam kitab manapun, seperti belajar pada lingkungan dan berbagai fenomena alam," jelasnya.
Hadir dalam kegiatan tersebut, Kasiter Mayor TNI Abdul Azis, Kasintel, Kodim 0712 Tegal dan Kepala UPTD Penyiaran Kabupaten Tegal, H A Hanan SH SPdI serta tamu undangan lain (ham)

Emun Membakar

hamidin krazan berkata...

Seringkali,
di tengah padang pasirnya pertiwi
rumput tunduk palingkan hati
embun bening gosongkan ujung daun
kepala bersorban
angan-angan terjungkal dalam jilatan bara
tatapan angkara palingkan nestapa nyata
padahal hujan hanya turun di
rimba pekarangan para raja
seringkali,
senyum tetap senyum
airmata dibekukan di setiap
doa bergelimang linang pariwara
seringkali,
bunga itu tak kunjung mekar
karena semakin alpa saja....
salam hormat.... www.atisaduso.blogspot.com

2008 November 17 12:08

PUISI PERHELATAN BAYANG DAN KENYATAAN

 LAHIR DAN MELATA  Hamidin Krazan Di Kaki Bromo  Lahir telanjang Jika itu kau jabang bayi lelaki Seharusnya kau tetap bugil teronggok di ata...