https://www.transnews.co.id/membaca-hamidin-krazan-lewat-sastra-pinggiran/
LELAKI HAMIL
Lelaki hamil. Jabang Bayi Tak Kunjung Lahir. Tertatih langkah kurang istiqomah. Memperjuangkan nasib anak-anak dalam rahim lelakiku. Rahim ini tak sejantan para wanita belia bersemangat baja. Anakku tak kunjung lahir. Penantian tak pernah kehabisan sabar. Sabar terus terurai tiada batas. Betul, sabar bagi hamba beriman tak ada batasnya. Hanya saja langkah menyusur jejak sabar, sering terantuk aral alpa dan khilaf, sehingga seringkali liar. Salah arah. Karenanya jangan sampai tertinggal jejak istighfar. Apalagi sampai gagap terbentur dinding amarah.
“Mana
anakmu?” tanya Gadis subur.
“Belum
satupun lahir,” jawabku menyembunyikan wajah karena malu akibat selalu kalah bertahan
dan meski selalu tertantang.
Ketika
ambang lahir anak-anak tak kunjung mencapai –sekalipun hanya- ‘bukaan 1’,
apalagi ‘bukaan’ 2, 3… hingga 9, sebagai pertanda adanya kepastian. Nyatanya
hanya sekedar perut mules akibat banyak komplikasi tuntutan kebutuhan dari
sekian penjuru ingin datang bersama dalam satu waktu, seperti pasukan gerilya
menyerbu, sehingga proses kelahiran selalu teranulir.
Ketika
perjuangan sebuah kelahiran tak berkemampuan optimal, tak berdaya maksimal.
Notabene bukan nihilnya daya ampuh tapi kuota jumlah beban yang berlebih. Bukan
kosongnya daya topang melainkan terlampau rimbunnya daun-daun pada dahan
sebatang. Dalam kontraksi itu, terhindar dari salah urat, sudah alhamdulillah.
Dalam kondisi klimak seperti itu tak terjadi patah dahan sudah bersyukur
berhambur-hambur. Artinya, gagal lahir bukan berarti nadi hidup para jabang
bayi finish sudah, Oh tidak ….
Nafas-nafas
itu tetap menggeliat, hidup dan bermekar bahkan mewangi dalam lingkaran
metamorfosa. Bukankah bayi-bayi yang lahir, menangis namun memiliki daya
booming rasa bahagia tak terhitung angka? Kelahiran itu baru menjelma dalam
bentuk sebuah ‘keharmonisan hubungan inter dan (bahkan) antar keluarga.
Pendek
cerita: Terlahirnya keharmonisan hidup berkeluarga itu lebih membahagiakan jika
pencapaian tak hanya sekadar ‘lahirnya jabang bayi’ dari rakhim lelaki dalam
bentuk sebuah idea.
Hemat saya,
selain menilai karya itu penting, ternyata menciptakan hidup dalam keluarga
yang harmonis itu jauh lebih penting. Idealnya, kelahiran karya-karya dari
seorang lelaki berstatus ayah, senyampang dengan tersebar dan suburnya
benih-benih keharmonisan di dalam keluarga sebagai bagian dari proses
kelahiran-kelahiran, tak sekadar anak manusia tetapi juga berupa sejumlah jenis
karya.
Jika sejak tahun
2015 bayi-bayi itu belum terlahirkan juga, setidaknya telah mengutamakan
kelahiran nilai dan asa-asa yakni terciptanya keluarga harmonis. Sebab itu
merupakan seni berumah tangga yang sudah banyak teori dituliskan, sudah banyak
mulut ustad bertausyiyah-ria, namun susah diwujudkan. Tak terciptanya seni yang
satu ini jangan sekali-kali dianggap remeh dan gampang. Ayo karyakan hidup
harmonis, sekalipun sehari saja! Bisa?
(Bekasi,
Desember 2015- kini: Masih Hamil-)
Jangan Klik namaku : hamidin kraZan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Semoga komentar Anda menjadi kebaikan kita bersama