9/09/2008

Cerpen

NISAN PAHLAWAN

Oleh Hamidin Krazan

Ayah bukan seorang pahlawan penuh

tanda jasa. Juga bukan pahlawan tanpa tanda jasa. Ayah hanya orang biasa. Meski bagiku dia bukan seorang awam. Konon, ayah ikut berjuang ketika masih usia remaja. Ayah ikut berperang melawan serdadu Belanda. Tepatnya ketika terjadi pertempuran di perbatasan Banyumas - Brebes pada akhir bulan September tahun 1947.

Ketika itu pasukan Belanda tengah mengadakan konvoi di sepanjang jalan antara Ajibarang – Bumiayu. Laskar Hizbullah bersama-sama dengan Tentara Republik Indonesia mengadakan pencegatan di Desa Kranggan.

Inderlaq alias aksi pengadangan itu dilakukan di Jalan Raya Kranggan. Titik aksinya di penghujung desa yang jauh dari permukiman penduduk. Tepatnya di wilayah perbatasan kabupaten. Di sepanang jalan itu selain rumah penduduk masih jarang juga lokasinya sangat strategis. Baik untuk mengintai musuh, pengadangan sekaligus aksi penyergapan musuh.

Konsentarsi pasukan dipusatkan pada zona sepanjang sekitar lima ratus meter sebelum jembatan Pasurupan. Sebuah jembatan way over ini dibangun Belanda. Posisnya berada di tikungan jalan raya yang di bawahnya ada rel lintasan kereta api di perbatasan Banyumas – Brebes.

Malam gerimis. Kabut tebal menyelimuti Desa Kranggan. Para laskar Hizbullah dan prajurit TNI bergerak maju ke medan laga untuk mempertahankan kemerdekaan. Laskar Hizbullah yang datang dari arah Desa Krajan mendapat bantuan personil dari penduduk. Mereka berderap maju menuruni perbukitan hingga akhirnya bergabung dengan pasukan tentara. Taktik pengadangan telah dirundingkan. Sebagian tentara berada di lereng bukit Sindang. Sebagian bersiap di balik perlindungan yang dibuat di sebrang kanan jalan. Melalui komando pasukan masing-masing para laskar Hisbullah dan pasukan tentara bahu-membahu menyiapkan beriakde jalan sepanjang malam.

Lepas Subuh kokok bekisar terdengar saling bersautan dari arah hutan pinus. Suaranya melengking memecahkan keheningan yang kian menegangkan. Fajar kian menyingsing. Sayup-sayup derum mobil terdengar dari arah Selatan. Seluruh pasukan bersiap melakukan penyergapan.

Konvoi pasukan Belanda kian mendekat dengan dikawal dua pancer Wagen. Sampai di tikungan Pejagan, mobil-mobil Belanda terhalang tumpukan kayu gelondongan. Konvoi mobil Belanda terdepan berhenti. Terlihat gerakan isyarat seperti memberikan aba-aba tanda bahaya. Puluhan serdadu Belanda sigap berderap turun dari truk sambil memegang senjata secara waspada. Sebagian lagi memeriksa berikade. Mereka bersiaga untuk mengantisipasi adanya serangan mendadak.

Satu letupan peluru terdengar dari arah bukit Sindang. Serangan pasukan tentara dan laskar Hizbullah terhadap pasukan Belanda pun terjadi. Pertempuran dahsyat tak terelakan lagi. Pasukan Belanda yang jumlahnya ribuan yang dilengkapi dengan peralatan perang, sehingga blockade dari tumpukan kayu gelondongan dan rumpun bambu dapat disingkirkan dengan mudah.

Pagi semakin ditelan siang. Pertempuran sengit semakin sadis terjadi di sepanjang jalan hingga jembatan Pasurupan. Tumpukan kayu yang dibakar dengan maksud untuk merusak kosntruksi jembatan, tidak menjadi hambatan bagi para serdadu karena mereka mengendarai kendaran lapis baja. Terlebih setelah mendapat bantuan pasukan yang menggunakan kereta api dari arah Bumiayu. Pasukan Belanda terus memuntahkan peluru dari segala penjuru. Hingga pasukan tentara dan laskar Hizbullah terdesak. Lalu semuanya ditarik mundur ke arah perbukitan.

Sebagian pasukan TNI dan Hizbullah yang menempati posisi di kanan jalan semakin terjebak dari serangan serdadu di jalan raya dan serdadu yang di atas kereta. Sebagian lari tunggang langgang berusaha menyebrangi sawah menuju Desa Krajan melalui perbukitan Watukarut.

Namun serdadu yang berada di atas kereta api dengan mudahnya mengarahkan moncong bedil sambil memuntahkan peluru panas ke para pejuang bangsa. Banyak laskar Hizbullah dan personil tentara yang gugur dalam pertempuran menjelang dhuha itu. Sebelum pulang, ayah dan beberapa teman yang masih selamat turut membantu laskar Hizbullah melakukan pengburan massal jenazah para pahlawan yang gugur di perbatasan Banyumas – Brebes.

Ayah dan kawan-kawan tidak berani melewati jalan utama untuk pulang ke rumah. Karena harus menyebrang lintasan kereta api. Agar aman dari incaran mata-mata Belanda yang masih berpatroli, ayah menyusuri jalan setapak di tengah kuburan yang berada di sebrang selatan jalan kereta api. Sampai di perempatan kecil antara jalan menuju gerumbul Gunung Barang dan Karang Belimbing, ayah berpisah dengan keempat kawannya. Ayah tidak langsung pulang ke rumah, melainkan berjalan menyusuri tepian kali Guntur menuju sawah. Niatnya untuk mencabut beberapa batang ketela pohon untuk dibuat getuk.

Sebelum sampai ke sawah garapannya, langkahnya terhenti. Sayup-sayup terdengar erangan orang yang mengaduh kesakitan. Ayah penasaran. Langkahnya dipandu telinganya. Ia melangkah sesuai arah datangnya suara. Ketika sedang tengak-tengok di atas batu sebesar kerbau di dekat gubug, tepat di dekat batang pohon pisang kepok, tampak sesosok tubuh terkapar. Permintaan tolong terdengar dari mulutnya dengan suara agak serak.

“Kang… tolongin aku Kang….”

“Ya Allah. Sanikwan? Kamu terjatuh apa?”

Tangan kanan Sanikwan merangkul pohon pisang. Sedang tangan kirinya menggamit selangkangannya kuat-kuat. Mulutnya tapak pucat sambil mengerang tiada henti.

“Tolongin aku Kang… Aku tertembak…”

Ayah terbelalak kaget. Tercenung. Keningnya berkerut. Hatinya antara percaya dan tidak. Setelah meraih tangan kirinya, ayah terperanjat. Telapak tangan Sanikwan berlumuran darah segar.

Ayah segera memapah Sanikwan ke latar gubug. Tubuhnya direntangkan. Disingsingkan salah satu lengan celana kolor hitamnya, agar dapat terlihat lukanya ada di bagian mana. Ternyata selakangan sanikwan yang terluka. Tepatnya salah satu buah zakarnya pecah. Ayah berusaha menghentikan pendarahan dengan memoleskan kunyahan daun bandotan (wui..... belum kelar ceritanya.... nyambung getoo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga komentar Anda menjadi kebaikan kita bersama

PUISI PERHELATAN BAYANG DAN KENYATAAN

 LAHIR DAN MELATA  Hamidin Krazan Di Kaki Bromo  Lahir telanjang Jika itu kau jabang bayi lelaki Seharusnya kau tetap bugil teronggok di ata...