9/17/2008

Cerpen Heroik


Nisan Pahlawan (2)

Oleh: Hamidin Krazan

Tubuh Sanikwan lebih kecil sehingga ayah mudah memapahnya pulang. Di tengah perjalanan Sanikwan menceritakan kisah naasnya. Sejak pagi Sanikwan menghalau burung emprit yang menyerang tanaman padi. Seperti petani lainnya, ia gunakan alat penghalau burung itu dengan bambu oprak. Bebunyian serupa angklung yang dikaitkan dengan tali panjang. Di setiap tiang bambu oprak yang tersebar di banyak tempat dibuat orang-orangan sawah. Ketika tali ditarik dari pusat penghalau, orang-orangan sawah bergerak-gerak. Bambu oprakpun berbunyi, ‘oprak-oprak, oprak-oprak’. Gunanaya untuk mengusir rombongan burung emprit yang gemar menyisil padi sebelum menguning.

Sekitar jam delapan pagi kereta melintas dari Barat. Penumpangnya serdadu Belanda. Mereka baru saja melakukan front di perbatasan. Begitu terlihat ada gerakan mencurigakan di tengah sawah, seketika itu serdadu Belanda kembali memuntahkan tembakan ke target di tengah sawah. Orang-orangan sawah diberondong secara membabi buta. Tak luput ke arah gubug di tengah sawah. Sanikwan berusaha berlindung di balik pohon pisang sambil ketakutan. Tetapi ada peluru mengenai selakangannya. Lukanya parah. Pendarahan tak kunjung henti.

Di tengah perjalanan pulang, Sanikwan merasa sangat menyesal kepada ayah. Kemarin sorenya ketika ayah mengajaknya membantu laskar Hizbullah dan TNI melakukan aksi pengadangan di batas wilayah, Sanikwan menolak bahkan melecehkan.

“Perang itu tugas tentara. Jadi petani tidak usah neko-neko. Urusi saja sawah garapan, biar majikan senang,” jawabnya agak sinis.

Jam empat sore Sanikwan menghembuskan nafas terakhirnya. Sebelum meninggal Sanikwan kembali merasa getun.

“Kalau saja aku tertembak di tengah medan pertempuran, aku jadi pahlawan ya Kang,” cetusnya.

“Sudahlah, tidak usah menyesali diri. Apa yang kamu lakukan juga tugas mulia. Mencangkul itu berjuang juga loh,” kata Ayah menghibur.

Sanikwan menghentikan langkah sebelum sampai di rumahnya. Tepatnya sebelum ada orang lain tahu sebab kecelakaan yang menimpanya.

“Kang aku minta tolong ya,”

Ayah menoleh ke Sanikwan. Lalu mulut Sanikwan membisikkan sesuatu di telinga ayah. Setelah mengerti maksud permintaannya, ayah mengangguk pelan.

Menjelang Maghrib warga Dukuh Wetan mendengar Sanikwan meninggal langsung geger. Masyarakat sekitar berduyun-duyun menyampaikan duka cita atas meninggalnya seorang petani yang kaya raya itu.

“Sanikwan tertembak di medan perang….”

“Sanikwan pahlawan kemerdekaan….”

“Sanikwan pejuang….” Kalimat itu yang terucap di antara mulut warga. Hingga sekarang.

Hampir enampuluh tahun ayah menyimpan rahasia itu. Rahasia yang dibisikkan Sanikwan saat dirinya dipapah dari sawah menuju ke rumah. Beberapa hari sebelum ayahku meninggal, ia baru menceritakan sesuatu yang dibisikkan Sanikwan di telinganya puluhan tahun silam. Tadinya aku protes tetapi urung setelah ayah menjelaskan beberapa alasan.

“Pahlawan ada dalam kehidupan bukan setelah mati,” kata Ayah berpesan. Aku terdiam merenungi kata-katanya.

Kemarin sebelum ziarah ke makan ayah, aku sempat menengok kuburan teman ayahku, Sanikwan. Letaknya di pinggir beringin karet di pojok timur. Makamnya dikelilingi pagar besi kuningan. Di sekitar batu nisan ditutup marmer. Di dekat batu nisan ada patung bendera merah putih berkibar dengan tiang bambu runcing yang ujungnya ada lukisan darah mengucur. Anak keturunan Sanikwan yang membangun makam itu. Salah satunya menjadi tokoh organisasi kemasyarakatan.

Aku tertegun. Bibirku beristighfar lirih. Ternyata di batu nisan itu tertulis dengan tinta emas: Sanikwan Candrawikrama (Pejuang Kemerdekaan Wafat 25 September 1947)*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga komentar Anda menjadi kebaikan kita bersama

PUISI PERHELATAN BAYANG DAN KENYATAAN

 LAHIR DAN MELATA  Hamidin Krazan Di Kaki Bromo  Lahir telanjang Jika itu kau jabang bayi lelaki Seharusnya kau tetap bugil teronggok di ata...