Dua Wanita Inspirasiku

Desa Mawa Cara Bumi Mawa Ciri

PERIBAHASA Jawa itu terkandung makna, setiap tempat di suatu daerah terdapat kekhasan cara dalam menyelesaikan suatu permasalahan hidup yang dihadapinya masyarakatnya. Di tengah kehidupan masyarakat dengan berbagai tingkatan sosial yang ada, pada masa sekarang, golongan masyarakat miskinlah yang paling terpelanting dari konsep adil dan beradab.

Perhelatan kehidupan menuntut manusia harus terus bergerak, kreatif dan pantang menyerah. Tidak sedikit masyarakat miskin yang putus asa lalu mengakhiri hidupnya tidak dengan khusnul khatimah. Seperti mati bersama dengan cara bunuh diri. Di kalangan perempuan ada saudara kita yang terpaksa ataupun dipaksa terseret ke dalam lembah nista seperti terjun ke dalam bisnis seks komersil. Banyak pula orang menggampangkan kiat dalam mengatasi kesulitan dengan cara menjadi mengemis, menipu dan sejenisnya.

Sebaliknya masih banyak masyarakat (sebut para ibu) yang mencoba bertahan hidup dengan cara mulia, misalnya membuka usaha kecil-kecilan seperti berdagang. Di desa yang letaknya berada di selatan lereng gunung Selamet atau lebih kurang 20 kilometer sebelum Kota Purwokerto ini, masyarakatnya masih banyak yang menggunakan kayu bakar untuk memasak. Sebagian menggunakan kompor minyak dan gas. Program konversi minyak tanah ke gas belum merambah ke desa ini. Sebulan lalu (Januari) RT di tempat tinggalku sudah mendata warga yang bakal menerima kompor gas gratis.

Persoalannya, kini minyak tanah sulit didapatkan. Meski harga sering dikeluhkan namun disertai maklum. Tetapi ketika barang yang dibeli kehabisan stok, mau apa? Untuk mendapatkan dua liter minyak tanah, pembeli harus jauh-jauh hari menaruh derigen minyaknya di barisan antrian di warung penjual minyak tanah. Setelah jatah minyak habis, para ibu yang terlambat datang tidak bisa mengadu atau memaksa untuk memperoleh minyak yang sudah menjadi jatah orang lain. Lantas mau masak pakai apa? Kayu bakar? Ya kalau di dapurnya tersedia tungku.

Para ibu pengguna kayu bakar untuk memasak di dapur, selain kini harganya mahal, seringkali kayu bakar susah didapat. Para petani yang biasa menyisihkan waktunya untuk mencari kayu bakar di hutan jumlahnya tetap. Sementara permintaan kayu bakar dari para ibu meningkat. Anak-anak muda hampir tidak banyak yang mewakili para generasi tua penjual kayu bakar. Karena lebih memilih merantau ke kota.

Ukuran kayu bakar yang dijual, satu pikulnya terdiri dari dua ikat kayu pecahan masing-masing panjang 1,2 meter dengan diamater gulungan sekitar 40 centimeter. Harga per pikul mencapai Rp 20.000. Terkadang untuk mendapatkan satu pikul kayu bakar harus pesan dulu. Karena ketersediaan terbatas.

Bagi seroang ibu, memasak selain menjadi bagian kewajiban rutin, pada tingkat tertentu merupakan media ekspresi cinta dan kasih sayangnya terhadap keluarga. Betapa bangga hati sang ibu manakala hasil olahan sayur lodehnya dilalap sampai habis disertai sanjungan oleh suami dan anak-anak. Apalagi ketika salahs atu masakannya menajdi santapan favorit dan ketagihan. Sebaliknya hati merasa dongkol dan putus asa ketika masakannya dicela. Terlalu asin lah, kurang ini, itu dan lainnya. Apesnya, jika kemarahan itu hanya diredam secara diam-diam, namun berakibat memupuskan semangatnya.

Ketika sang ibu hendak memasak, gas kosong, minyak habis atau yang biasa menggunakan tungku tidak tersedia kayu bakar sebatangpun. Itulah saat yang genting, betapa seorang ibu dibuat kelimpungan dan panik bukan main. Seringkali tak tercermati oleh suami atau anak-anaknya. Namun kepanikan itu dapat diatasi dengan berbagai cara.

Belakangan, untuk mengatasi kekurangan bahan bakar seperti kayu bakar, ada ibu tua yang rajin mengumpulkan potongan kayu sisa di pabrik penggergajian kayu gelondongan di desaku. Potongan kayu itu dikumpulkan, diikat lalu digendong untuk dibawa pulang. Setelah dijemur lalu digunakan sebagai kayu bakar buat memasak. Kehadiran pabrik penggergajian kayu itu telah mengubah sebagian perilaku masyarakat yang biasa hanya menunggu penjual kayu yang datangnya tidak tentu, serta mengubah cara pencarian kayu di hutan atau di kebun tetangga.

Bagi masyarakat di Banyumas Barat kekurangan bahan kayu bakar masih dapat tertolong karena masih banyak terdapat kebun dan pekarangan, kini banyak pula pabrik pengergajian kayu. Selain dekat dengan hutan, meski jarak tempuhnya sekitar 5 kilometeran. Lantas bagaimana dengan para ibu dengan persoalan serupa namun mereka berada di pesisir pantai utara seperti di Kelurahan Muarareja di Kota Tegal?

Di kelurahan ini masih banyak ibu rumah tangga yang menggunakan kayu bakar untuk keperluan masak. Baik masak untuk konsumsi keperluan keluarga maupun usaha. Seperti para ibu yang membuka usaha pengolahan ikan asap dan rebus pindang. Tentunya mereka menggunakan kayu bakar untuk mengolah ikan.

Sekalipun di Kota Tegal sudah diberlakukan konversi minyak ke gas. Banyak para ibu yang memperoleh kompor gas dan tabungnya. Tetapi para perajin ikan asap tetap bertahan menggunakan kayu bakar untuk memasak. Selain minyak tanah semakin sulit bahkan tidak tersedia sedangkan gas harganya semakin mahal serta kehabisan stok.

Harga kayu bakar di kota bahari ini ukurannya tidak seperti di Banyumas, sistem pikulan, melainkan per ikat. Setiap satu ikatan kayu bakar ukuran panjang sekitar 60 centimeter isi tiga sampai empat batang ukuran lengan orang dewasa, dijual sekitar Rp 2.000 an. Jika beli tiga ikat Rp 5.000. Lantas bagaimana pula ketika di tempat penjualan kayu bakar juga kehabisan stok? Karena kayu bakar yang dijual di kota ini didatangkan dari daerah pinggiran hutan di Kabupaten Tegal dan Brebes seperti daerah Margasari, Bumijawa dll.

Suatu siang yang terik aku mengitari jalanan aspal di sepanjang perkampungan di pantai Muarareja. Para ibu sebagian besar bekerja sebagai nelayan pengolah ikan dan berdagang. Di sepanjang pantai banyak terdapat tambak ikan bandeng. Di sepanjang pematang atau tanggul balongan itu ditumbuhi pohon bakau (mangrove). Selain untuk manahan erosi, pemecah gelombang ketika rob (air pasang) juga tempat berlindungnya ikan peliharaan di tambah.

Seorang nenek (60) pada suatu hari sedang memetik buah mangrove yang bentuknya panjang seperti kacang-kacangan dengan galah sepanjang lima meter. Di ujung galah itu diberi kait agar buah mangrove itu lepas dari tangkai ketika galah ditarik dengan sekuat tenaga. Ternyata buah mangrove itu ia jadikan bahan kayu bakar.

Caranya, setelah buah mangrove terkumpul diikat lalu dibawa pulang dan dijemur di halaman rumah selama dua hari. Setelah kering baru bisa dijadikan kayu bakar. Dalam jumlah banyak buah mangrove kering bisa dijual. Harga per kubik sekitar Rp 100 ribu. Untuk mendapatkan satu kubik buah mangrove kering membutuhkan waktu hampir sepekan. Itu jika cuaca panas, tetapi ketika musim penghujan atau air laut pasang, terkadang jemuran buah mangrove di halaman rumah yang hampir kering, malah kuyup terendam air pasang.

Dua kiat para ibu di dua daerah berbeda dengan persoalan sama itu, ternyata dapat dipetik bahan pembakar semangat dalam hidup ini.

Pertama, tak ada kesusahan tanpa ditemukan jalan kemudahan. Kedua, kiat menemukan jalan keluar dari persoalan membutuhkan sikap sabar. Ketiga, seorang ibu dalam mewujudkan kasih sayangnya tidak hanya sebatas rasa (emosional), melainkan daya kreativitas dan pengerahan tenaga pun disertakan. Keempat, persoalan hidup jangan dihindari tetapi harus dihadapi sekalipun dengan cara terberat dan dipandang nista di mata orang lain. Kelima, karunia Allah di darat dan di laut tidak akan kering. Dapatkan manusia pandai mendulangnya? Dua sosok ibu tersebut telah menjawabnya (Hamidin Krazan)

Komentar

  1. wanita itu sosok yang paling kuat. terlebih ketika ia sudah menjadi seorang Ibu. Nalurinya, kasih sayangnya, dan semua yang ia tebarkan... sungguh mulia.

    bicara soal bahan bakar memasak, dulu pake minyak tanah, lalu beralih ke gas. jadi ga pernah ada cerita2 berat :D

    BalasHapus
  2. sangat kental dengan nuansa mayoritas.. beratnya permasalahan hidup adalah suatu mayoritas yang dihadapi oleh mayoritas penduduk desa negeri ini.
    dan ibu adalah wanita-wanita perkasa..
    aku kangen ibuku...nun jauh di lereng Gunung Slamet di pojokan Banyumas itu..

    BalasHapus
  3. Wanita selalu jadi sumber inspirasi.
    Semoga selalu inspirasi untuk kebaikan.

    Salam kenal

    BalasHapus
  4. It's a nice blog. Salam kenal ya....

    BalasHapus

Posting Komentar

Semoga komentar Anda menjadi kebaikan kita bersama

Postingan populer dari blog ini

Seniman Tegal Dapat Penghargaan

AKSI REBOISASI MAHASISWA TURUT HIJAUKAN SESAOT

Kampung Emping Bumiayu