Iqra

Sayonara Lembah Cahaya
Oleh Hamidin Krazan

RAMADAN disebut sebagai sahru attarbiyah. Bulan belajar - mengajar. Transformasi ilmu begitu hilir mudik di setiap detik. Lalu lintas pengetahuan keislaman selalu padat merayap di setiap lorong waktu. Arus pencerahan akal, penyegaran otak dan benih-benih pikiran merasuk deras melalui penglihatan, pendengaran, permenungan dan mios krenteging tyas. Ilmu adalah cahaya. Al Qur’an -- bacaan idola selama Ramadan -- memiliki sifat-sifat nasihat (Al mauidhah), petunjuk (Al Huda), obat (As Syifa) dan penerang (An Nuur) alias sumber pencerahan.
Faktanya, selama Ramadan di ambang bangun tidur, lamat-lamat terdengar tetabuhan musik dan lagu-lagu bernafaskan Islam menyeruak menusuk telinga. Pikiran meresponnya. Dicerma dalam jaringan otak. Tersimpulkan, segala jenis glothekan, tetabuhan antara jam 02.00 s.d 03.00 wib itu musik pengantar sahur, bukan ulah brisik pengganggu istirahat tidur. Sambil kaki terayun gontai ke kamar kecil, terdengar keras berulang-ulang dari spiker masjid, petugas tarkhim serukan doa bangun tidur. Berulang-ulang ia mengajak umat Islam agar sahur. Sambil menikmati santap sahur kita ditemani acara televisi yang menyajikan hidangan rohani -- sebut dan pilihlah acara bermutu -- tafsir Al Qur’an atau tontonan talk show dan kuis.
Detik demi detik tak luput detak jatung terserum seruan dakwah. Menit demi menit ayat-ayat Allah terkumandang tak kunjung sudah. Menjelang pagi, kuliah subuh tersiar dari mushala hingga masjid besar. Di setiap sudut kamar radio, televisi hingga koran pagipun sajikan dakwah lisan maupun tulisan. Menjelang mata pelajaran, para pendidik di sekolah ajak siswanya tadarus Al Qur’an. Shalat dhuha berjamaah. Kuliah dhuha, pesantren kilat. Ada ceramah singkat seusai shalat dhuhur. Sorenya para remaja gelar dialog Ramadan. Para bapak mengikui uraian kitab klasik dan tafsir Al Qur’an setelah Ashar. Siaran radio dan semua chanel televisi serukan syiar Islam menjelang futhur.
Tidak disangkal, banyak aktifitas umat Islam sejak bangun tidur hingga menata bantal menjelang tidur di bulan Ramadan penuhi dengan praktik ibadah. Asupan pahala begitu deras tak kunjung tuntas. Jika ikhlas, selama Ramadan umat Islam bergelimang An Nuur. Kekuatan ruhaniyah semakin tangguh. Jiwa-jiwa bergelimang cahaya.
Pada puncak Ramadan, ada malam sangat istimewa di antara keistimewaan selama Ramadan, lailatul qadar. Pada malam ‘misteri’ itu, para malaikat dan malaikat Jibril atas ijin Allah turun untuk mengatur segala urusan. (Q.S Al Qadar: 1-5). Malaikat, dijelaskan Al Qur’an, makhluk Allah yang sangat patuh dan sangat netral, tercipta dari cahaya.
Turunnya pasukan malaikat beserta malaikat penyampai wahyu, Jibril ke bumi pada malam yang mulia itu, dianalogikan bagai gugusan bintang dan rembulan yang menerangi alam raya ketika malam gelap dan pekat. Cahaya-Nya menjadikan fakta malam (gelap gulita) itu berubah menjadi benderang. Alhasil, segala benda menjadi kelihatan bentuknya.
Secara maknawi, malam bisa berarti kebodohan, kejahilan, kejumudan, pesimis, was-was, gelisah, kejahatan, kekuatiran yang kadang sulit dicari sebabnya, hingga habis akal. Sedangkan siang adalah kecerahan, terang benderang, suasana terbuka, pikiran yang merekah, berwawasan luas, banyak alternatif ketika terpentok persoalan, kejujuran, sabar, optimis, keberanian, banyak ide dan kreatif. Pantas saja lailatul qadar, disebut-sebut suatu malam yang nilainya lebih baik dari 1000 bulan. Karena kualiatas, manfaat dan barakah yang terkandung di dalamnya tidak bisa diukur dengan meterologi duniawi. Ibaratnya, umat Islam yang ketiban lailatul qadar, dia memperolah polish asuransi bernilai sangat tinggi yang menjamin kehidupan bahagia di dunia dan kedamaian kekal di akhirat.
Semoga anugerah ilmu dan pengetahuan semakin meningkatkan kecerdasan otak kita. Hikmah dan barokah Ramadan menyeruakkan nur-illahi ke dalam bilik hati kita yang akan semakin membuat mata bathin semakin tajam. Juga tradisi beribadah semakin meningkatkan kecerdasan spiritualitas kita. Sehingga ketika keruwetan hidup, persoaan dunia, permasalahan hidup seberat apapun menimpa, kita dapat mengatasinya secara cermat. Kita dapat terentas dari gulita kehidupan yang pengap bagai di dalam gua. Kita dapat terhindar dari kungkungan telur wukan (gagal menetas) yang mencangkangi kehidupan sosial masyarakat kita.
Kesimpulannya, ada tiga sumber cahaya dalam lembah benderang (Ramadan) yang penuh rahmat, barokah dan ampunan ini. Pertama, meningkatnya tradisi belajar-mengajar ilmu keislaman. Kata ahli hikmah, ilmu adalah cahaya. Kedua, meningkatnya tradisi membaca dan mempelajari Al Qur’an. Rosululloh mengajurkan, “Sinarilah rumah kalian dengan mendirikan shalat dan membaca Al Qur’an.” (HR Baihaqi). Ketiga, turunnya pasukan malaikat pada lailatul qadar.
Jika ketiganya senantiasa terejawantahkan selama pasca Ramadan. Al Qur’an terus dikaji. Lailatul qadar datang setiap hari. Sehingga caha-Nya membimbing setiap jiwa. Niscaya manusia tidak lagi terkungkung di dalam gua. Tidak gagap membaca rahasia semesta. Tidak alpa meyakini Penguasa Semesta. Kebundetan hidup niscaya terurai. Sebaliknya, jika pasca Ramadan ketiga muara cahaya itu dibekap, diredupkan bahkan dipadamkan dengan gemerlap dunia dan kemaksiatan, maka sayonaralah lembah cahaya.*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seniman Tegal Dapat Penghargaan

AKSI REBOISASI MAHASISWA TURUT HIJAUKAN SESAOT

Kampung Emping Bumiayu