cerpen

Bayi Bermata Bening
Oleh Hamidin Krazan


PEMILIHAN Ketua Musuh di Kampung Sengkeot akan dilaksanakan Ahad Manis pekan depan. Takrip salah seorang calon yang belum mendaftar. Pada Kamis Wage Takrip datang ke rumah Mbah Sanwikerta. Dia dikenal sebagai kesepuhan yang punya keistimewaan. Seorang dosen psikologi yang pernah mendampingi mahasiswanya KKN di Kampung Sengkeot mengatakan, Mbah Sanwikerta memiliki Ekstra Sensori Persepstion. Warga sekitar menjulukinya Simbah Mata Bethara. Mbah San, begitu panggil rekatnya, mahir melihat sesuatu yang tersembunyi.
“Rip…. Takrip. Kamu ini senang repot. Kalau cuma minta restu soal pemasangan gambar, cukup ke anak semata wayangmu itu…,” sambut Mbah San dari balik pintu. Mbah San keluar dari kamar shalat. Cahaya lampu pijar menerangi ruangan. Wajah Mbah San sedikit tegap dengan kelopak mata agar berair. Tetapi tatapannya bergulir awas. Di ambang pintu ruang tamu, Takrip sedikit tergagap.
“Mbah San ini pancen hebat. Bisa ya, dia tahu aku mau minta restunya?” Pikir Takrip. Dalam ketercengangan itu, Takrip berusaha bersikap wajar. Disambutnya cangkir mug di tangan Mbah San untuk diletakkan di meja kecil bundar di samping kursi bawor tempat duduk favoritnya. Saat Mbah San hendak duduk, Takrip berusaha sigap merapihkan posisi bantal penopang punggungnya.
“Mbah bisa menebak maksud kedatangan saya, tapi kenapa keliru tentang anak saya? Atau Mbah lupa?” ujar Takrip merajuk.
“Lupa bagaimana?”
“Anak saya belum menjadi mahasiswa Mbah? Bagaimana mau minta pendapatnya soal politik?”
“Kamu keliru Krip! Kalau bicara soal politik ansich, tunggu saja setelah anakmu kuliah. Tapi ini kan soal poliklenik….”
Bagi Mbah San, ternyata politik itu dipahami aneh. Konon terdiri suku kata ‘poli’, ‘tik’ dan unsur klenik. Poli artinya banyak. Tik bisa akronim dari bermacam kata yang memiliki unsur suku kata serupa tapi beda maksudnya. Seperti kata ‘titik-titik’ alias persoalan yang butuh jawaban. Isian yang butuh jawaban yang singkat dan jelas. Atau Lahan untuk diperebutkan. Selain itu, ‘Tik’ bisa diidentikan itik simbul kejantanan. Tik berarti tikus, intrik, gathik, meletik bahkan tikam! Belum ditambah unsur klenik. Dengan begitu poliklenik itu ibarat roti dan keju. Takaran keju dengan roti lebih banyak mana? Itu tidak dipersoal. Asal ada sedikit keju atau sekedar aroma keju saja. Asal penjual roti untung. Konsumen buntung tetapi tidak protes. Begitu juga rasa klenik dalam urusan politik. Tak pernah ada yang mengusik. Keduanya laku. Keduanya laris meski sama-sama bukan barang dagangan. Penjualnya pun absurd….
Takrip hanya termanggut-manggut ketika tanpa sadar dirinya tengah di-upgread.
“Aku tahu. Anakmu masih bayi cenang-cenang. Bahkan usianya belum genap seminggu kan?”
Takrip mengangguk-angguk. Meski kepalanya semakin dibuat pening. Dirinya sedang menghadapi persoalan politik atau klenik. Entahlah.
Bersamaan dengan penjelasan Takrip, di balik pagar bambu rumah Mbah San, ada seorang yang diam-diam ada sesosok orang sedang mendengar pembicaraannya. Takrip tidak menyadarinya, kalau belakangan ini gerak-geriknya selalu ada yang mengikuti.
“Nah, anakmu kedua matanya sangat bening. Sangat cocok buat……” Mbah San memenggal kalimatnya. Seketika menarik lengan Takrip agar merapatkan telinganya ke mulut Mbah San. Lalu dibisikan satu pentunjuk di telinga kanan Takrip. Kening Takrip berkenyit. Seperti kurang yakin atas petunjuk Mbah San.
“Itu satu-satunya cara kamu bermain,” kata Mbah San simbolis.
Malam semakin larut. Begitu Takrip keluar dari rumah Mbah San, ia tidak langsung pulang ke rumah. Sebagai sosok yang ingin dikenal dan ditresnani masyarakat, Takrip sempatkan mampir ke beberapa tempat thongkrongan. Pertama ke pangkalan ojeg di sebelah utara pasar Srengenge. Setelah itu mampir ke warung kopi dekat lapangan badminton. Niatnya mau memberikan sumbangan dana ke Pak RT setempat guna membeli net. Karena net yang kini dipakai sudah kroak, akibat dimakan tikus.
Cukup lama Takrip berada di warung dekat lapangan badminton itu. Padahal Mbah San menyutuh Takrip pulang secepatnya untuk menengok bayinya. Agar Takrip meyakinkan istrinya. Karena besok pagi Takrip dan istrinya harus membawa bayinya yang bermata bening itu ke rumah Mbah San. Tujuannya untuk membuktikan keistimewaan mata sang bayi.
“Anakku meski umurnya belum genap seminggu tetapi sudah memiliki keistimewaan. Benarkah?” Takrip tanpa sadar buka rahasia di depan warga yang duduk di warung.
“Apa anak sampaian bisa bicara?”
Takrip menggeleng
“Bisa ngaji?”
Takrip menggeleng lagi.
“Lantas apa istimewanya?”
“Matanya yang bening itu bisa melihat sesuatu yang membuatnya senang…”
“Ya bayi memang begitu…”
“Anakku lain. Setiap ada warna yang tidak enak dilihat, dia menangis seperti ketakutan. Begitu juga kalau melihat gambar atau foto wajah orang dengan ukuran lebar, dia seperti gila mbegi… sangat ketakutan! Tangannya seperti anak kena step. Seperti mau meraih atau merobeknya.”
“Ah masa sih?”
“Anehnya, setiap melihat baju yang kupakai dia tampak senang, seperti layaknya anak melihat kliningan. Begitu juga ketika saya perlihatkan gambarku yang akan saya pasang dis etiap gang, di pinggir jalan dan di setiap sudut kampung….. anakku tertawa lucu. Kegirangan….”
Penjelasan Takrip membuat para lelaki di yang duduk di warung merasa gusar. Perasaan semakin tidak menentu, tersingung bahkan memancing emosi.
Sekitar lima orang yang ada di warung yang ditunggui seorang janda tuu, Mbok Dikem, mulai bersikap aneh. Semula mereka inggah-inggih setiap Takrip menceritakan segala aktifitasnya. Tapi begitu cerita tentang keajaiban mata anaknya, tiba-tiba satu persatu lima warga itu pindah tempat duduk. Sepertinya ada yang memberikan kode agar tak mempercayainya sambil mundur teratur.
“Sedulur-sedulurku kabeh…. Pokoke sampaian aja kewatir… angger inyong depilih dadi ratu…. Saben dina bisa gemuyu… ha ha haa….”
Huuuu huuuu…. Orang-orang di sekitar lapangan badminton tertawa mencemooh. Mereka menertawakan Takrip. Mereka saling memandang curiga.
“Sepisan maning…. Aja kelalen…. Angger inyong depilih dari masinis…. Anak putune sampean numpak sepur gratis….. nggoook, ngoooookkk, juguzes-juguzes ayo noblos inyong kabeh…. Juguzes-juguzes…”
Kedubrak. Tubuh Takrib membentur kaso penyangga tutup lincak. Mbok Dikem pemilik warung terbangun dari kantuknya. Dia spontan bergegas keluar warung begitu melihat tubuh Takrib tersungkur di dekat bangku tempat duduknya. Saat dipapah Takrib berlagak tidak butuh pertolongan. Mbok Dikem mengangkat tubuh Takrip sendirian. Orang-orang yang semula berada di warung hanya menonton dari pinggir lapangan. Begitu juga empat orang yang sedang bermain badminton, mereka hanya berhenti karena tidak tahan menahan tawa. Lucu melihat tapih Mbok Dikem nyaris nggebroh saat memapah Takrip yang kalap.
“Tidak usah dipegangi…. Kalu mau bantu aku, toblos saja aku…..” Takrip meracau. Entah siapa yang telah menukar kopinya dengan segelar minuman keras yang memabukkan. Atau kopinya dibubuhi obat gila anjing? Atau apalah…. Takrip tidak tahu.
Hari semakin larut. Tiba-tiba terdengar bunyi thithir pertanda ada rumah warga yang dibobol pencuri.
“Bayiku hilang mas…. Bayiku dicuri orang mas…..” jerit perempuan berkulit hitam manis. Istri Takrip itu menangis histeris sambil menubruk jasad suaminya yang tergeletak tak sadarkan diri di pelataran warung * Tegal. Juni 2008

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seniman Tegal Dapat Penghargaan

AKSI REBOISASI MAHASISWA TURUT HIJAUKAN SESAOT

Kampung Emping Bumiayu