9/09/2008

JalanAjak

Juru Dakwah Bukan Calo

Oleh: Hamidin Krazan

PADA suatu hari sejumlah budak dari negeri al Bashrah mendatangi Imam Hasan al Bashri. “Ya Taqiyuddin, majikan kami memperlakukan kami dengan buruk dan tidak berperikemanusiaan. Kami berharap pada khotbah Jum’at yang akan datang tuan bisa membicarakan tentang kasus kami supaya para pemilik budak melepaskan para budaknya dan agar tidak memperlakukan mereka dengan kejam, kata salah seorang di antara para budak.

Imam Hasan al Bashri mendengarkan permohonan itu dengan baik tanpa berkomentar sepatah katapun. Sejak itu, dalam khotbah Jum’atnya, sang Imam tidak pernah membahas persoalan budak. Hingga pada suatu hari Jum’at, beliau berkhotbah dengan tema mengenai keutamaan membebaskan budak dalam Islam dan besarnya dosa menganiaya budak.

Seusai khotbah Jum’at itu banyak kaum muslimin yang membebaskan para budaknya karena Allah Ta’ala. Kemudian sejumlah budak al Bashrah juga mendatangi kembali sang Imam. Namun kedatangan mereka bukan untuk mengucapkan terima kasih. Mereka berkata, “Wahai Imam Hasan, kami datang kepada tuan bukan untuk berterima kasih, tetapi untuk mengritisi tuan!” tandasnya.

Terkejut Imam Hasan al Bashri mendengar kritikan itu. “Mengapa begitu?” tanya sang Imam. “Semula kami datang dan mengadukan hal ikhwal kami ke sini dengan harapan agar tuan cepat-cepat menyampaikan pidato Jum’at itu karena kami dan rekan kami butuh penyelesaian yang segera,” kilah salah seorang budak.

Imam Hasan al Bashri tidak menjawab gugatan itu, tetapi beliau balik bertanya, “Tahukah kamu, mengapa aku menunda khotbah Jum’atku ini?” tanyanya bijak. “Allahu’alam,” jawab para budak.

Aku menunda bicaraku tentang pembebasan budak karena aku belum mempunyai uang cukup untuk membeli budak, kemudian kubebaskan dia sesuai dengan tema pembicaraanku dalam khotbah Jum’at itu, barulah memerintah orang lain untuk membebaskan para budak. Kaum muslimin akan menyambut seruan Allah Rabbul ‘alamin bila mereka melihat bicara dan perbuatanku sejalan!” kata sang Imam menjelaskan.

Aktifitas dakwah kini begitu semarak. Namun boleh dikata, kesemarakannya masih pada dataran qauliyah. Maksudnya baik dari segi kuantitas maupun kualitas dakwah itu masih didominasi oleh dakwah bi al lisan (ceramah dan semacamnya). Terlihat melalui pencermatan terhadap unsur dakwah yang semakin variatif. Baik subyek, obyek, materi maupun media dakwahnya.

Subyek (dai) tidak hanya para kiyai, mubaligh, guru agama atau qayimuddin saja. Tetapi sejumlah pakar ilmu pengetahuan, para pejabat tinggi, pakar politik, selebritis (artis) pun turut berdakwah.

Obyeknya (mad’u) tidak hanya kaum santri di pesantren, para ibu majlis taklim di masjid, mushala atau di balai pertemuan di kampung dan kelurahan. Tetapi di sejumlah tempat yang semula kurang lazim sebagai tempat dakwah, kini menjadi biasa. Para pejabat, para ibu istri pejabat, para bintang film, eksekutif muda dan para tokoh pergerakan maupun aktifis partai, mereka semakin terbiasa aktif mendengarkan ceramah di hotel berbintang, di plaza, di café, di instansi pemerintahan bahkan di tempat yang notabene milik komunitas agama lain.

Materi yang disampaikan para dai kian bervariasi dan komplit, mencakup berbagai persoalan yang berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan manusia. Di samping materi mengenai suputar air juga masih perlu diulas dan diulang. Yakni tentang pengetahuan fikih, misalnya tentang tata cara berwudhu, mandi wajib bahkan sampai persoalan ketika kencing di tempat yang tidak tersedia air untuk bersuci dan bagaimana agar sisa urine yang bisa mengugurkan syahnya ibadah shalat itu dapat teratasi.

Begitu pula methode dan media yang digunakan untuk berdakwah semakin lengkap dan beragam. Tidak lagi dengan ceramah di atas mimbar yang diperdengarkan lewat speaker butut, yang sesekali mesin pengerasnya trable dan menimbulkan denging yang memekakkan telinga. Tetapi berbagai media audio, audiovisual bahkan kecanggihan dunia komunikasi melalui telpon seluler pun bisa dijadikan media dakwah. SMS al Qur’an, ringtone adzan, fiture islami, rekaman ayat Allah bahkan melalui teknologi 3 G bisa saling bertanya jawab langsung dengan ustadz kondang di tempat yang saling berjauhan.

Dari kisah di atas dikaitkan dengan kemudahan melakukan dakwah Islam, justru semakin menjadi sebuah tantangan yang signifikan bagi para juru dakwah. Dalam hal ini para juru dakwah dituntut disamping kaya ilmu agama dan pengetahuan umum lainnya, juga kaya materi. Agar juru dakwah tidak disamakan dengan calo bus di terminal. Dia teriak-teriak mengajak orang agar menumpang bus menuju ke suatu tujuan, tetapi dianya tetap di tempat. Orang Jawa menyebutnya, jarkoni. Suka ngajari tetapi tidak nglakoni. Tipe juru dakwah semacam itu secara retoris dipertanyakan Allah dalam al Qur’an (Q.S 61:2). “Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?”

Idealnya seorang juru dakwah selain wawasan keagamaan dan pengetahuan umumnya luas, juga seorang seorang konglomerat yang dermawan. Sulitkah? Insya Allah tidak. Caranya? Belajarlah ilmu berdakwah kepada kiyai. Kemudian belajar pandai menyalurkan harta, sembako, hadiah dll. kepada para calon lurah atau calon bupati. Dengan ilmu dari dua figur itu, jika niatnya diluruskan semata-mata untuk mencari ridho Allah, bukan semata-mata untuk kepentingan politik sesaat, maka akan muncul para Imam Hasan al Bashri di bumi pertiwi. Bukan sekedar calo-calo yang sekedar menjadikan ayat-ayat Allah sebagai komoditi.*

Penulis adalah Wartawan Nirmala Post Tegalm Jawa Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga komentar Anda menjadi kebaikan kita bersama

PUISI PERHELATAN BAYANG DAN KENYATAAN

 LAHIR DAN MELATA  Hamidin Krazan Di Kaki Bromo  Lahir telanjang Jika itu kau jabang bayi lelaki Seharusnya kau tetap bugil teronggok di ata...