Persaingan Usaha Kecil


Pengakuan Ikha
Mudik Gara-gara ‘Ditembak’


Ikha (50) Warga Rw 07 Desa Sida Purna, Kecamatan Dukuh Turi Kabupaten Tegal, sudah lima tahun menjadi tukang pembutik (petik) bawang di desanya. Sebelumnya Ikha menjalankan usaha warung tegal (warteg) di daerah Pasar Ikan, Jakarta Utara pada tahun 2002. Menurut pengakuannya, di awal usahanya hingga berjalan sampai beberapa tahun hasilnya lumayan. Namun setelah usahanya berjalan, tiba-tiba di lokasi yang tidak jauh dari pangkalan usahanya, datang seseorang yang membuka usaha serupa. Warteg!
Lantas terjadi persaingan diam-diam. Perang dingin hingga akhirnya ada dugaan perlakuan jahil dari pendantang baru terhadap Ikha. “Saya ditembak Mas. Apa iya, istilahnya dijahili lah. Usaha saya kan sudah berjalan, pelanggan cukup lumayan, tetapi setelah ada saingan, di warung saya sering terjadi hal-hal aneh. Masa tiba-tiba di bakul nasi ada ulatnya?” kata Ikha seperti mengadu. Diakuinya, kejadian semacam itu sering terjadi. Dirinya yakin, kalau usahanya dijahili. “Untung mung nasine sing diuleri, ora kena maring wonge,” ujarnya.
Karena dia tak mau memperpanjang masalah, diputuskan lebih baik pulang kampung. Mudik! “Saya ingin aman. Saya tidak mau jadi korban,” tuturnya.
Kini sudah lima tahun Ikha mengisi hari-harinya sebagai tukang butik bawang. Jika tidak ada pekerjaan itu, ia bertani musiman. Ketika musim tanam bawang, menyiangi, serta panen, Ikha mengerjakan itu sebagai kuli harian.
Menjadi tukang butik bawang, yakni memotng bawang dari daunnya yang sudah kering.Biasanya bawang yang akan dijadikan bibitan. Upahnya dalam sehari Rp 20 ribu. Ikha dan kawan-kawannya dalam sehari mampu menghasilkan hingga 50 kilogram. Mereka mulai bekerja dari jam 06.00 sampai 16.00 WIB. Ditambah uang jajan seribu rupiah. Kalau bekerja di sawah seperti mencabuti rumput menyiangi, upahnya setengah hari Rp 17 ribu.
Menurut Warjo, kejadian yang dialami Ikha itu tergantung pada orang masing-masing. “Kalau saya, yang namanya orang mencari rejeki itu banyak caranya. Sebagai penjual makanan di jaman sekarang yang penting bisa memenuhi selera pembeli,” kata pemilik warteg di daerah Tebet Timur, awal Oktober lalu tengah mudik di kampungnya. Baginya, dalam usaha warung makan yang penting bisa menyajikan masakan enak, resik (bersih), aja kelarangen (jangan terlalu mahal). Kalau jaman dulu yang penting banyak dan mengenyangkan. Soal rasa nomor dua. “Dulu asal akeh gawe wareg, soal rasa nomor loro,” ujarnya.
Sekarang seiring banyaknya usaha warteg dan penjual makanan lainnya tentu harus diatasi dengan cara peningkatan kualitas, baik pelayan maupun service kepada pembeli. Rasannya enak, pelayanan sumeh, cekatan dan tempat bersih. "Serta selalu berdoa kepada Allah agar dikarunia rejeki halal," tandasnya. Di sii lain? Termasuk pelayannya cantik? He he he he. (ham)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seniman Tegal Dapat Penghargaan

AKSI REBOISASI MAHASISWA TURUT HIJAUKAN SESAOT

Kampung Emping Bumiayu