Seniman Tegal Dapat Penghargaan

9 Nominator Penerima Penghargaan Seni

Semula kami mencantumkan 12 bakal calon nominator, setelah disaring melalui rapat pengurus harian dengan cara seobyektif mungkin akhirnya dikerucutkan menjadi 9 nama yang kemudian diserahkan kepada tim verifikasi untuk ditentukan sesuai kuota yang ada.

PENGHARGAAN Seni oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Tegal kepada seniman melalui Dewan Kesenian Tegal (DKT) merupakan langkah positif sekaligus bukti bahwa kepemimpinan Adi Winarso sangat peduli terhadap jerih lelah para seniman dengan kreativitasnya. Hal itu dikatakan Sekretaris DKT, HM. Enthieh Mudakir, Rabu (15/10).
“Melalui penghargaan ini beliau telah menciptakan sejarahnya. Diharapkan prakarsa ini akan menjadi program tahunan,” kata Enthieh. Dijelaskannya, meskipun penghargaan ini diberikan Pemkot namun teknisnya perekrutannya diserahkan sepenuhnya kepada DKT.
“Semula kami mencantumkan 12 bakal calon nominator, setelah disaring melalui rapat pengurus harian dengan cara seobyektif mungkin akhirnya dikerucutkan menjadi 9 nama yang kemudian diserahkan kepada tim verifikasi untuk ditentukan sesuai kuota yang ada,” papar Enthieh. Kesembilan nominator itu, Piek Ardijanto (alm.), Wuryanto (alm.) SN Ratmana, Sulaiman Dito, Ki dalang Sardjono, Nurhidayat Poso, Yono Daryono, H Tambari dan Lanang Setiawan. Di bawah ini sekelumit tentang biografi mereka:

Nurhidayat Poso
Sekelumit lintasan jejak berkesenian seorang guru SD ini, tidak sebatas teritorial daerahnya, melainkan hingga tingkat nasional bahkan international. Lahir di Tegal 5 Mei 1960. Kegelisahan yang selalu bergulat dalam jiwanya, karena menderunya kerinduan terhadap gerak maju jagad kesenian di Tegal. Peran gandanya sebagai sutradara teater, aktor, penyair dan cerpenis merupakan kerangka kreativitas mewujudkan idealismenya.
Tahun 1979 ia mendirikan Teater Puber. Ikut mendirikan Studi Group Sastra dan Teater Tegal (SGST) tahun 1981. Mendirikan Forum Dialog Budaya Tegal (FDBT) tahun 1992. Turut menerbitkan Majalah PESISIR tahun 1997. Ia menyutradarai lakon di antaranya: Antigone karya Sopochles dll. Lakon drama yang ditulisnya: Abracadabra: “Roro Ireng” (Pemenang penulisan lakon Jawa Tengah). Cerpennya dimuat di sejumlah media regional, nasional dan luar negeri. Cerpennya yang dimuat di majalah Horison berjudul “Sintren Randu Alas” dijadikan naskah drama dan disutradarainya dengan judul “The Sintren of Randu Alas” dengan transkrip Heather Curnow dimainkan para aktor Australia, dipertunjukan pada Top End Writers Festival, satu Vestival penulis kelas dunia yang diadakan di Darwin, Australia. Buku kumpulan cerpennya Semar Panggang dan Gerundelan Wong Tegal. Selain membangun jaringan budaya, ia juga melakukan perjalanan budaya di Australia. Tahun 2007 NP memperoleh penghargaan nasional dari Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata yang diserahkan oleh Menteri Jero Wacik.

Yono Daryono
Yono lahir di Tegal 25 Maret 1955. Ia berkecimpung di dunia sastra sejak kelas 2 SMA lewat karya berupa sajak. Seiring proses kreativitas Yono menulis artikel dan cerpen. Karyanya bertebar di sejumlah media cetak nasional seperti Majalah Gadis, Kartini, Suara Karya, Mutiara, Merdeka, Suara Merdeka, Wawasan dan majalah Sastra Horison. Sebagai dramawan Yono banyak menulis naskah drama serta termasuk salah seorang pendiri Teater RSPD. Selain sebagai penyiar radio juga pernah menjadi Koresponden RCTI. Sebagai pemimpin teater RSPD, Yono banyak menggarap lakon drama, dipentaskan di Tegal, Purwokerto, Semarang, Cirebon, Jakarta, dan Padang Sumatra Barat (1986). Menjadi sutradara terbaik tingkat Jawa Tengah (1986). Selain sastra dan teater Yono juga merambah dunia sinematografi. Bahkan menjadi peran utama serta masuk nominator Peran Utama Pria Terbaik tahun 1995 lewat sinetron Jejak Sang Guru karya sutradara Imam Tantowi. Penulis naskah dan sutradara drama Sunan Panggung, Opera Brandal Mas cilik.

Lanang Setiawan
Sementara itu Lanang Setiawan, tak kalah menariknya juga. Lelaki kerempeng kelahiran Tegal, 26 Nopember. Sepanjang perjalanan kesenimanannya terdokumentasi secara rinci melaui karya-karyanya. Tahun 1994 ia menulis buku Jalan Panjang Teater dan Sastra Tegal. Melalui buku itu peristiwa kesenian di Tegal periode antara tahun 50-an hingga 1993 menjadi literatur yang menambah khasanah referensi. Ia merupakan pekerja seni yang pertama kali melahirkan kembali adanya Koran Tegal, Kontak, Porem, Literasi hingga tabloid Tegal Tegal, setelah dari kurun waktu antara tahun 1960 hingga 1993. Diapun getol mengentaskan bahasa Tegalan ke dalam media komunikasi terpandang dan representative. Seperti mengangkat bahasa tegalan lewat penerjemahan sajak penyair Indonesia yang dihimpun dalam buku ROA. Melalui gebrakan ini baik kalangan penyair dan lainnya maupun media massa menjadi terkuak keberaniannya menyandang serta mempublikasikan bahasa Tegalan. Karya lainnya, menulis dan mencipta lagu-lagu Tegalan, naskah sandiwara Tegalan berjudul Tegal Bledugan, Wangsalan Tegalan, serta penulis naskah sandiwara Guyon Tegalan. Menulis anehdot Tegalan di Nirmala Post setiap hari, sudah dua tahun dan sampai kini masih menulis kolom itu. Serta banyak karya LS yang sarat dengan sajian dan rasa khas Tegalan. Termasuk menulis naskah drama, puisi tegalan, dan mendirikan Teater Swadesi.

Wuryanto
LAHIR di Tegal (12/12/1927), Wuryanto menulis cerpen sejak tahun 1951. Karyanya banyak dimuat di media lokal maupun nasional diantaranya di Mimbanr Indonesia, Sinar Harapan, dan Suara Meredeka. Dia juga menulis tegalan dan terantologi dalam buku “Ruwat Desa”. Kecuali menulis cerpen menulis juga drama panggung naskah sandiwara radio, salah satunya berjudul ‘Hatinya Sedalam Laut’.Ia pun menulis artikel dan reportase tentang kegiatan kesenian. Sajak-sajak tegalannya di Muara Sastra, Kontak, Porem, Literasi dan tabloid Tegal Tegal, semuanya terbitan lokal Tegal. Wuryanto termasuk salah satu pendiri Lembaran “Banteng Loreng” dan Senidrama “Tunas” tahun 1950-an.

Piek Ardijanto
PIEK Ardijanto Soeprijadi (alm), penyair yang pernah bertugas sebagai Kepala SMU Negeri Grogol di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Piek Ardijanto Soeprijadi dilahirkan di Magetan, Jawa Timur, 12 Agustus 1929. Sejumlah karyanya antara lain: Burung-burung di Ladang (1983), Percakapan Cucu dengan Neneknya (1983), Desaku Sayang (1983), Lagu Bening dari Rawa Pening (1984) mendapat Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K Menyambut Hari Sumpah Pemuda, Lelaki di Pinggang Bukit (1984), Nelayan dan Laut (1995), Biarkan Angin Itu (1996). Selain itu, karyanya dimuat pula dalam antologi Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968) H.B. Jassin (ed), Tonggak 2 (1987; Linus Suryadi AG).

H Tambari
H TAMBARI Gustam lahir di Tegal 18 Oktober 1964. Lelaki yang jago humor ini, selain mahir baca puisi, dia getol melancarkan aksi demo saat reformasi. Antologi pantunnya terhimpun dalam buku Pantun Warteg. Salah satu pendiri “Kiret” (Komite Reformasi Tegal) ini juga telah menerbitkan 3 buah buku komik masing-masing berjudul Selamatkan Aku, Jeritan Si Ikan Laut dalam bahasa Tegalan, dan ketiga Selamatkan Pantai Muarareja. Buku yang lain Guyong Gustam, Jangan Tunggu Rakyat Bergerak, Misteri di Balik Masjid Kalisoka, dan Capung Maling. Tokoh yang satu ini termasuk paling gerah dan geram ketika melihat ketimpangan social. Ia pun banyak menulis puisi tegalan, termasuk mendirikan tabloid Muara Pos.

Ki Dalang Sardjono dan Pelukis Dito
KAKEK dari lima cucu kelahiran tahun 1950 ini, Ki Dalang S Sardjono, sejak di bangku SR (sederajat SD –red) hingga tamat dari SLTP di wilayah Adiwerna sudah tergila-gila pada seni karawitan dan wayang. Kegandrungannya pada kebudayaan Jawa itu memaksakan dirinya bercita-cita menjadi dalang yang kondang.
“Cita-cita masa kecil saya memang ingin menjadi dalang yang dapat mengharumkan nama baik bagi orang tua dan daerah kelahiran,” kata Sardjono kepada NP, Rabu (15/10) ketika dijumpai di rumahnya di Kelurahan Kraton Tegal.
Tanpa mengenyam pendidikan sekolah pedalangan, Sardjono tetap tekun mengangsu ilmu pedalangan pada dalang Darto. Dan tak hanya belajar pada dia, empat tahun lamanya dia merguru pada Ki Dalang Suharjo. Dia spesialis menjadi dalang wayang golek. Kali pertama dia mendapat job dalangnya pada tahun 1972 di Slerok. Tahun 1982 ia menjadi duta seni Tegal di TMII, berlanjut hingga lima kali. Pernah mendalang di Semarang, di RRI Purwokerto tiga kali. Ikut kegiatan apresiasi wayang langka dan meraih juara I dalang penyaji terbaik.
“Sebagai dalang harus mampu menghayati karakter tokoh wayang yang dimainkan. Jangan asal gebrak,” pesannya.
Tak hanya Sardjono, salah satu pelukis yang masuk dalam nominator Penghargaan Seniman adalah R Sulaiman Dito. Dia lahir di Grobogan, 4 Januari 1946, R Sulaiman Dito RS alias Dito sejak tahun 1965 menetap di Tegal. Jenjang pendidikan SD hingga SLTA ditempuh di Semarang. Pernah kuliah di UI bagian Paspal di Bandung setahun. Kuliah jurusan Arsitektur di ITB tiga tahun. Setelah drop out lalu tekuni dunia seni lukis dan desainer.
“Saya cenderung pada lukisan beraliran natural ke kanak-kanakan,” kata Dito kepada NP, Rabu (14/10) di sanggarnya.
Pernah pameran lukisan di Tegal, Slawi dan Semarang. Karyanya dikoleksi di sebuah universitas di Australia. Tahun 1980 – 1990 sebagai desainer reklame di Jakarta. Karya monumentalnya, melukis tokoh Ki Gede Sebayu. Mendesain tiga monument seperti tugu Tentara Pelajar di pertigaan Jalan Soepomo, tugu Pancasila di pertigaan timur Alun Alun Kota Tegal dan tugu di pertigaan Tirus (hamidinkrazan)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKSI REBOISASI MAHASISWA TURUT HIJAUKAN SESAOT

Kampung Emping Bumiayu