DUKUH WETAN - EMBRIO NOVEL HAMIDIN KRAZAN

Fragmen 10: Embrio Novel - DUKUH WETAN - “Singrat... Singrat ... Singrat...!” Kata ejekan itu kerap dilontarkan anak-anak lain blok yang usianya belasan tahun kepada anak-anak sebayanya yang tinggal di Dukuh Wetan. Meski ejekan itu kerap meyakitkan hati, namun ada manfaatnya juga. Tentu saja manfaat sebagai nasihat pedas. Melebihi pedasnya mata kelilipan semut hitam. Mereka mengejek anak-anak Dukuh Wetan dengan ucapan sinis bernada pedas, Singrat! Yah, nyatanya begitu. Oknum anak Dukuh Wetan memang ada yang suka 'ndlagjig', ngising darat . Biasanya terjadi ketika musim kemarau berlangsung. Beberapa kali kecil atau Kalen yang ada di wilayah Dukuh Wetan krisis air. Sejumlah mata air mampat. Alur kali kecil yang melintas di perdukuhan otomatis kekeringan. Pasti ada saja anak juga orang tua yang buang hajat sembarangan di sungai kecil (kalen) yang berubah menjadi daratan. Padahal beberapa kalen yang membujur di Dukuh Wetan itu dilintasi jalan utama penghubung antar desa. Tentu pemandangan ‘tai pating njlapet’ di ujung batu di pinggir kalen di tepi jalan utama itu membuat sangat tak elok dipandang, tak sedapkan aroma sekitar juga kontra nafas keimanan. Sekilas Dukuh Wetan di musim kemarau tampak miskin air. Padahal sejumlah sumber mata air mengelilingi Dukuh Wetan. Jika di musim penghujan, mata air itu mengalir di bawah Dukuh Wetan. Sebut saja, di Barat Laut ada mata air Kali Gondok, di Barat Daya ada mata air Kali Gondang, di Utara ada mata air Kali Benda, di Timur Laut mata air Kali Gili dan di Tenggara sumber mata air abadan, Ciwunut. *sekedar di antara banyak lembar catatan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seniman Tegal Dapat Penghargaan

AKSI REBOISASI MAHASISWA TURUT HIJAUKAN SESAOT

Kampung Emping Bumiayu