JALAN BERBAKTI MELALUI PUISI

Resensi Buku

JALAN BERBAKTI MELALUI PUISI

Judul       :Antologi Puisi IBU KITA IDOLA

Penulis    :Pemuisi Sastra Pinggiran

Editor     : Tim Sastra Pinggiran

Penerbit  : Satria Publisher, Banyumas

Catakan  : Pertama Tahun 2021

Tebal      : 200 Hlm.

 





Semua pemuisi yang tergabung dalam antologi puisi Ibu Kita Idola (IKI), tim pengepul karya dan segenap pemilik daya yang berperan dalam proses terbit hingga buku ini sampai di sanding Anda, niscaya terlahir dari rakhim seorang ibu. Tuhan mewajibkan hambanya agar berbakti kepada kedua orang tua, terutama kepada ibu. Atas kemurahan-Nya pula kita diberikan banyak jalan lapang dan mudah yang dapat dilalui sebagai langkah kebaktian kepada ibu. Jika menulis puisi dapat dijadikan sarana salah satunya, maka tidak serta merta para hamba harus menjadi penyair terlebih dulu agar bisa menempuh jalan meraih keridhoan Tuhan atau kebaktian melalui puisi. Terbitnya buku antologi IKI telah membuktikan itu. 

Menurut Mas guru Trisnatun Abuyafi dalam pengantar menuliskan, bahwa IKI yang diinisiasi Ketua Komunitas Orang Pinggiran Indonesia (KOPI), Kang Wanto Tirta, pada mulanya terbit dalam rangka Hari Ibu (2020), namun akibat terkendala teknis, pada moment peringatan hari Kartini 2021 lah IKI terlahir. ‘Saya meyakini bahwa takdir dan nasib atas kumpulan naskah puisi bertema ibu ini memang seharusnya lahir di bulan April 2021’, tulis Mas Tris

natun. Setidaknya, jika kita menoleh sejarah, konon asal mula peringatan Hari Ibu itu dikarenakan adanya protes para ibu aktivis lantaran Presiden Soekarno lebih dulu menetapkan Hari Kartini di bulan April.

Syah saja jika kelahiran IKI dirasa sebagai kejutan di bulan April. Satu dan lain hal yang perlu diakui sebagai kejutan lain adalah bersatunya para pemuisi yang telah dengan sungguh-sungguh mewujudkan romantika diri, merangsang diri, berasyik mansyuk dalam pergumulan kreatif sehingga menghamili diri sampai terlahir puisi,  atas jiwa kebaktian diri kepada sang ibu yang terwujud jabang bayi berwajah puisi. “Para ibu” yang telah berhasil melahirkan puisi khas dan khusus ini berasal dari lintas gender dan profesi. Ada para pendidik dari kepala sekolah di beberapa satuan pendidikan sampai guru honorer yang berjiwa pejuang, sampai tenaga kependidikan namun berstatus PNS/ ASN. Ada penulis produktif yang bukunya sudah belasan judul hingga mantan wartawan senior sekaligus Redaktur Budaya koran harian nasional yang juga penyair dan kini menjadi wakil rakyat. Titik kejut yang paling monumental namun laten, ketika IKI terbit lalu ‘gelombang alun laut pikiran’ dan semua hal yang terkait dengan sosok ibu itu menyatu dalam bait-bait puisi. Terlebih ketika konten bait itu berisi pujian dan doa-doa. Pastinya dua amalan kepada sosok ibu itu tidak pernah basi. Boleh jadi membacanya menjadi bagian ritus “ibadah” jika diniatkan secara ikhlas karena ketundukan kepada-Nya.

Antologi puisi IKI terdiri dari 46 lebih pemuisi. Rata-rata setiap kontributor menulis tiga puisi (39 orang) ada dua penulis dengan 4 puisi (Saeran Samsidi dan Pensil Kajoe), dua penulis dengan 2 puisi (Dosen Sastra Indonesia UPS Tegal, Dr. Tri Mulyono, M.Pd., dan Presiden Guritan Banyumas, Wanto Tirta). Empat penulis dengan satu puisi (Riyanto, Hamidin dan dua sosok anggota Komisi III dan I DPRD Banyumas, Balqis Fadillah, Sh. I., M.Pd, dan Djadjat Sudradjat, S.Ip., M.Si. selain itu ada yang masih duduk di bangku SLTA hingga youtuber. Kecuali penulis tamu, para pemuisi tergabung grup WA Sastra Pinggiran kemudian bersebuku dalam antologi puisi setebal 200 halaman, memuat 134 puisi tema ibu dan tema bebas.

Jika dicermati lebih telaten, akan ditemukan tebaran mutiara makna yang mengungkap soal ibu, sekalipun secara teori penulisan puisi bisa jadi seorang kurator akan menilai sarkas, dan sejumlah kekurangan dalam banyak hal sesuai kapasitas, pemahaman teori dan disiplin ilmu sastranya. Namun coba saja dicerna dengan landasan tematik. Maka tebaran mutiara itu tampak tercetak. Pada awal puisi pembaca diasah dria pendengarannya, akan ornamen tuturan sebagai ungkapan kasih sayang seorang ibu di kurun waktu tertentu yang fenomena itu kini nyaris punah. Seperti senandung, ‘Tak lélo lédung .../ Kemuidan gambaran sosok ibu yang begitu piawai dalam menyimpan segala gejala psikologi yang bersisi negatif, pandai menyimpan rasa, ada istilah jawa menyebutnya ‘sepi ing pamrih’, dalam sebuah syair lagu anak yang sangat terkenal, kasih sayang seorang ibu yang galibnya tanpa pamrih itu dipersonifikasihan, ‘bagai sang surya menyinari dunia’ sebab apa yang diberikan seorang ibu bagi anak-anaknya, ‘suka memberi dan tak harap kembali’.

Adiyanto melalui sajak ‘Mewangi Putih Hatimu’ mengolah perumpamaan ‘ketidakpamrihan’ seorang ibu dengan kalimat yang membangunkan imaji auditif, ‘Keluhmu bahkan nyaris tak pernah kudengar/ kesah gundah pun kau simpan dalam-dalam/ tak diperdengarkan/ (hlm. 3). Beda dengan ungkapan ‘Ini Tentang Ibu’ (Muslikhah) yang mencuatkan sanjungan kepada sosok ibu dengan imaji campuran, baik kosa kata perangsang sisi visual, audio maupun citraan perabaan. ‘langkah tanpa bayangan/ ... tempat penuh asap .../ wangi bawang goreng .../ sangit asap dapur/ denting piring beradu sendok/ dengung nyamuk ... / (hlm. 63-64). Penekanan antara ibroh kesejatian jiwa sang ibu yang dipadukan dengan diksi penggiur dria pengecap sangat dominan dalam sajak ‘Lorong Waktu dalam Seracik Menu’ (Balqis Fadillah), /Senyum dalam teh gula batu/ dzikir kopi tahlil/ syukur kue kamir / dan lainnya (hlm. 159) membuat sajian puisi dalam antologi IKI semakin kaya aroma kembang jiwa dan kemajemukan rasa.

Adegan kasih sayang dengan perumpamaan yang diwarnai idiom dan simbol legendaris, tergambar di puisi ‘Biyungku Tercinta’ (Agus Yuwantoro), ‘Kangen Simbok’ (Lik Amad), ‘Selamat Pagi Biyung’ (Rubby Kr), ‘Kusenandungkan Kidung untuk Hari Ibu’ (Saeran Samsidi), wujud kekhusukan dan ungkapan mutiara dari ceruk hati dapat dicerna dalam sajak ‘Doa Ibu’ (Akhmad Mubarok), ‘Air Mata Ibu adalah Doa’ (Edi Maryono), ‘Dalam Pangkuan Ilahi’ (Fera Seftiana), ‘Ziarah’ (Kang Mul), ‘Hadiah Buat Bunda’ (Rahayu Hartiningsih), ‘Doa untuk Ibu’ (Siti Khotimah), ‘Cahaya Hidupku’ (Yulianti).

Selain ungkapan di atas, puisi di antologi IKI, didominasi dengan ungkapan keprihatinan, ketakziman, penyanjungan yang begitu rupa perumpamaan. Penasaran? Silakan miliki dan selamat mengapresiasi. (Hamidin Krazan) 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seniman Tegal Dapat Penghargaan

AKSI REBOISASI MAHASISWA TURUT HIJAUKAN SESAOT

Kampung Emping Bumiayu